Sabtu, 22 Agustus 2009

Setelah murid-murid dipanggil untuk menjadi pengikut Yesus, maka secara khusus dimulailah proses pembelajaran teologi bagi mereka. Menurut laporan Injil-injil Sinoptik, pembelajaran teologi bagi para murid itu disampaikan oleh Yesus melalui berbagai sarana, antara lain, perkataan-perkataan dan pengajaran-Nya, mujizat-mujizat-Nya, sikap dan tindakan-Nya, bahkan melalui gaya hidup Yesus sendiri. Dalam perkataan lain, Yesus menjadi pusat pembelajaran teologi bagi para murid itu.
Jika di amati cara Yesus mengajar murid-murid-Nya tentang berteologi, Ia tidak hanya mengajarkan sejumlah pokok teologis dalam bentuk perkataan dan pengajaran kepada murid-murid-Nya, tetapi juga melalui tindakan dan gaya hidup-Nya sendiri. Dengan demikian para murid itu tidak hanya mendengar sejumlah teori tentang suatu pokok teologis, melainkan juga mengalaminya secara langsung.Salah satu contoh yang dapat disebutkan dalam pembelajaran teologi itu adalah:
Pembelajaran teologi tentang kasih. Ketiga Injil Sinoptik sama-sama mencatat bahwa Yesus mengangkat intisari hukum Taurat yakni kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama dan mengajarkannya kepada para murid-Nya (Mrk. 12:30-31; Mat. 22:37-40; Luk. 10:27). Menurut para guru Yahudi, kasih kepada sesama hanya sebatas kepada orang sebangsa, bahkan orang segolongan, sealiran, seagama, sedangkan orang-orang di luar itu dianggap sebagai orang “asing” atau musuh. Namun bagi Yesus, kasih kepada sesama tidak hanya mencakup orang-orang sesuku, sealiran, atau seagama. Kasih, menurut Yesus, harus melampaui batas-batas itu dan mencakup semua orang termasuk musuh (Mat. 5:43,44).
Matius 22:34, mempunyai dua asumsi mengenai kasih:1
1. Kasih itu menuntut sikap hati yang begitu menghormati dan menghargai Allah, sehingga benar-benar merindukan-Nya, berusaha menaati dan peduli dengan kehormatan dan kehendak-Nya di dunia.
2. Kasih yang sepenuh hati dan menguasai seluruh diri, kasih yang di bangkitkan oleh kasih-Nya kepada manusia yang menyebabkan Dia mengutus anak-Nya
3. Kasih meliputi :
a. Kesetiaan dan keterikatan pribadi
b. Iman sebagai sarana pengikat antara Bapa dan Anak
c. Kesetiaan kepada penyertaan manusia kepada-Nya
d. Ketaatan yang sungguh-sungguh yang dinyatakan dalam pengabdian manusia kepada standar-Nya yang benar di tengah dunia yang menolak Allah
e. Kerinduan akan kehadiran dan persekutuan dengan-Nya

Menurut Injil Lukas, Yesus bahkan secara kreatif mengajarkan Kasih kepada sesama termasuk musuh, dalam bentuk perumpamaan kepada para pendengar-Nya termasuk ke dua belas murid. Lukas melaporkan bahwa sesudah Yesus menyampaikan rumusan mengenai kasih kepada sesama itu, maka atas pertanyaan seorang ahli Taurat kepada Yesus tentang siapakah sesama manusia itu (Luk. 10:29), Yesus menyampaikan perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati (Luk. 10:30-35).
Perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati merupakan upaya penulis Injil Lukas untuk memaparkan dua pemahaman yang berbeda, antara Tuhan Yesus dan seorang ahli Taurat, dalam menafsirkan Hukum Taurat. Dalam hal ini hukum yang berbunyi: "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri". Pemahaman yang berbeda akan melahirkan tindakan yang berbeda pula. Begitu juga dengan Tuhan Yesus dan ahli Taurat. Pemahaman mereka berbeda dalam melihat kasus "Siapakah sesama manusia", sehingga melahirkan tindakan yang berbeda.
Perumpamaan itu juga tampak sesuatu yang sangat ironis, sebab ternyata ahli Taurat itu, sekali lagi "ahli", ternyata justru mempunyai pemahaman yang keliru dalam menafsirkan Taurat. Orang Yahudi memahami sesama manusia (artinya yang harus dikasihi), hanya terbatas pada orang Yahudi sendiri. Sehingga orang bukan Yahudi (dalam hal ini orang Samaria), tidak termasuk di dalamnya.
Sekalipun mereka memahami bahwa Kasih terhadap sesama diberikan kepada orang Yahudi, ternyata terhadap orang Yahudi sendiri pun, mereka tidak sungguh-sungguh melakukannya. Memang dalam cerita itu tidak dikatakan bahwa korban perampokan itu orang Yahudi, tetapi Yerusalem dan Yerikho merupakan wilayah orang-orang Yahudi, dan orang yang lalu lalang di jalan itu kernungkinan besar adalah orang Yahudi sendiri. Sekalipun begitu, mereka (orang-orang Yahudi, bahkan Imam dan Lewi) tidak menunjuk kan kasih terhadap sesamanya (yang adalah orang Yahudi).Lalu siapakah sebenarnya sesama manusia itu?
Biasanya pertanyaan tentang siapakah sesama manusia, ditujukan kepada ahli Taurat, kepada Imam, kepada seorang Lewi. Lalu pada akhirnya juga kepada semua orang Kristen, yaitu agar dapat melakukan sesuatu atau menolong orang lain, tanpa dibatasi oleh agama, suku, status sosial, dan batas-batas lainnya. Alasannya, karena mereka pun sesama. Itu baru satu sisi yang dapat di ungkap dari perumpamaan ini.
Tetapi kalau memperhatikan dengan sungguh-sungguh pertanyaan Tuhan Yesus pada ayat 36, maka ada sisi kebenaran lain yang perlu untuk di kupas. Perhatikan pertanyaan Tuhan Yesus!! "Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?"
Jadi kalau memperhatikan pertanyaan Tuhan Yesus ini, melihat bahwa sesama manusia yang dimaksud adalah sesama manusia bagi si korban. Bukan bagi si penolong, bukan pula bagi Imam atau seorang Lewi atau orang Samaria. Sekali lagi bagi si korban.
Mengapa hal itu penting untuk ditanyakan oleh Tuhan Yesus? Sebab pada saat itu orang Yahudi bukan hanya tidak mau menolong orang yang bukan kaumnya, tetapi juga tidak mau menerima sesuatu yang berasal dari orang di luar kaumnya, sekalipun itu sesuatu yang baik. Orang Yahudi tidak mau belajar dari orang lain. Tuhan Yesus ingin mengingatkan bahwa tidak semua hal yang berasal dari luar diri itu pasti buruk. Ada yang baik yang bisa di hargai, bahkan yang bisa di terima.
Perhatikan selanjutnya jawaban ahli Taurat ( nomikos ) itu pada ayat 37: Jawab orang itu: "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan". Dan orang yang menunjukkan belas kasihan itu adalah orang Samaria, yang tidak pernah dipandang baik oleh orang Yahudi. Sekalipun orang Samaria memiliki kebaikan, kebaikan mereka tidak dapat diterima. Najis menerima sesuatu dari orang Samaria, sekalipun untuk hal yang baik. Pandangan bangsa Yahudi tentang kenajisan orang Samaria mempunyai sejarah panjang, terutama sejak Samaria jatuh ke tangan Asyur pada 722 SM. Sejak saat itu, masuklah orang-orang buangan dari wilayah-wilayah lain Kekaisaran Asyur ke Samaria. Mulai saat itu para penduduk Samaria menjadi suatu campuran ras (2 Raja-raja 17:3-6,24). Kedatangan Ezra dan Nehemia yang membawa semangat baru bagi kemurnian ras Yahudi membuat mereka tidak suka dengan nenek moyang Samaria yang campuran. Itulah sebabnya bangsa Yahudi tidak dapat menerima orang-orang Samaria.
Mereka menolak keberadaan orang Samaria, bahkan menolak apa yang baik, yang datang dari orang Samaria. Sikap seperti ini adalah sikap yang dapat menutupi kemam puan untuk melihat kekurangan diri dan tidak mau belajar dari kelebihan atau apa yang baik dari orang lain yang berbeda dengannya. Perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati ini ingin membantu orang Yahudi agar memiliki kemampuan untuk mengoreksi kekurangan diri dan mau belajar menerima apa yang baik dari orang lain, sekalipun itu dari orang yang berbeda dengan mereka. Bahkan mereka mestinya dapat belajar ketika orang Yahudi tidak dapat menghargai orang Samaria, justru melalui perumpamaan ini terlihat, orang Samaria malah dapat menghargai orang Yahudi.
Dalam perumpamaan ini dengan jelas dibedakan antara pemahaman tentang Kasih menurut guru-guru Yahudi dan menurut Yesus. Sebagaimana kita telah sebutkan, menurut versi pemahaman para guru Yahudi, Kasih kepada sesama dipahami secara sempit dan diberlakukan hanya terbatas pada orang sesuku, sealiran atau seagama. Karena itu ketika seorang Imam dan seorang Lewi, yang disebutkan dalam perumpamaan itu, melihat korban para penyamun itu tergeletak di jalan, maka mereka melewatinya dari seberang jalan. Namun Yesus, dalam perumpamaan itu, menampilkan orang Samaria sebagai figur yang justru memberlakukan kasih secara universal.
Orang Samaria itu, ketika melihat sesamanya menjadi korban para penyamun yang meninggalkan dia tergeletak di jalan, tidak bertanya, siapa namamu, apa aliran atau golongan agamamu, dan apa partaimu ( walaupun konteks pada saat itu, orang Yahudi memandang orang Samaria sebagai musuh, karena hal inilah mereka tidak beramah-tamah satu dengan yang lain ). Yang ia lihat adalah sesamanya manusia sedang menjadi korban keganasan sesama manusia lainnya. Maka, perasaan kemanusiaannyapun tersentuh oleh kasih itu sehingga ia turun dari keledainya dan menolong sesamanya itu. Injil Lukas memberikan rumusan: “….tergeraklah hatinya oleh belas kasihan” (Luk. 10:33). Dari catatan Lukas ini, nyata bahwa unsur yang mendorong orang Samaria itu untuk menolong sesamanya adalah kasih. Kasih yang menjangkau semua orang termasuk musuh. Kasih itu tidak sekedar sebuah teori, tetapi suatu action atau tindakan yang dengannya sesama manusia mengalami Kasih itu.
Dalam perumpamaan ini juga mempunyai penekanan bahwa dalam iman dan ketaatan yang menyelamatkan setiap orang , terkandung pula belas kasihan kepada setiap mereka yang membutuhkannya. Panggilan untuk mengasihi adalah panggilan yang dimiliki bukan hanya orang-orang yang hidup dalam Gereja atau dalam suatu lembaga agama, namun lebih ke arah yang menyeluruh bagi umat manusia. Hidup dan kasih karunia yang telah Yesus Anugerahkan bagi mereka yang menerima-Nya, seharusnya menjadi dampak dan pengaruh yang positif bagi orang-orang yang belum mengenal akan-Nya. Semua orang yang percaya pada Yesus, bertanggung jawab untuk bertindak, dan tidak mengeraskan hati. Hal ini juga di maksudkan agar-agar orang-orang yang mengaku memiliki Yesus di dalam hidupnya, dapat menyatakan secara benar kasih yang telah di berikan kepadanya, dan seharusnya menjadi “malu” jika orang yang tinggal di luar Yesus yang memberikan contoh teladan tersebut.
Dengan demikian, seluruh hidup dan pelayanan Yesus menggambarkan perendahan diri-Nya. Perendahan diri yang Yesus lakukan sebagai suatu pembelajaran bagi murid-murid tentang bagaimana mereka harus berlaku sebagai pemimpin-pemimpin di dalam jemaat. Mereka harus meneladani apa yang Yesus lakukan. Pembelajaran tentang iman. (Mrk. 4: 35-41; Mat. 8: 23-27; Luk. 8: 22-25 (Mrk. 4:40). Yesus mengangkat pokok iman atau percaya sebagai suatu unsur yang sangat penting bagi seorang murid dalam menghadapi situasi yang genting, seorang anak muda yang sakit ayan (Mat. 17: 14-21), memiliki iman sebesar sebiji sesawi (Mat. 17: 20).
Orang-orang rohaniawan ini ( seorang imam dan seorang lewi ), pada dasarnya mereka adalah orang-orang yang bertugas melayani kepada Allah. Imam bertugas menyiapkan korban bakaran kepada Allah ( imamat 1:5-17 ), orang Lewi bertugas di kemah suci ( bilangan 3:1-50;4:1-49 ) dan juga di anggap sebagai anak sulung Allah. Namun pada kenyataannya orang-orang ini terlalu naif dalam melayani. Pelayanan yang mereka lakukan tidak secara holistik kepada setiap orang. Seharusnya orang-orang ini yang harus memberikan contoh bagi orang Samaria atau orang yang hidup di luar Allah.
Bisa saja berbagai alasan diberikan untuk menjelaskan mengapa seorang Imam dan seorang Lewi itu lewat dari seberang jalan ketika melihat korban para penyamun yang terbaring di jalan. Misalnya, takut menjadi korban para penyamun itu, atau takut najis karena menyentuh mayat sebagaimana disebutkan dalam kitab Imamat. Tetapi mestinya alasan yang mendasar adalah karena mereka tidak mengenal korban itu. Sementara pemahaman mereka tentang kasih sangat sempit.
Yesus mau menekankan bahwa yang di butuhkan bukan seminar atau pertanyaan-pertanyaan teoritis “Siapakah sesamaku?”, tetapi Yesus mau berbicara tentang pelaku/subyek dari Kasih kepada sesama. Memberlakukan kasih bukan hanya kepada “orang-orang” yang telah terlebih dahulu mengasihi kita, tetapi lebih dari sekedar itu seharusnya Kasih yang di berikan adalah Kasih yang universal kepada setiap orang bahkan musuh sekalipun.
Mengasihi Allah itu penting, tetapi bagaimana mungkin seseorang dapat mengatakan saya “mengasihi yang tidak kelihatan” sementara dalam kenyataan hidupnya, orang-orang yang kelihatan, bahkan yang berada di sampingnya tidak di hiraukan sama sekali. ( B.J Boland dan P.S Naipospos,274-275 ) Kasih kepada Allah tidak dapat dipisahkan dengan Kasih kepada sesama, dan yang satu tidak boleh menggantikan yang lain : kita tidak dapat mengasihi Allah dan membenci sesama, dan Kasih kita kepada sesama itu tidak bisa lepas dari kepercayaan kita kepada Allah yang telah mengasihi terlebih dahulu; harus mulai menjadi sesama dan bertindak sebagai sesama terhadap orang lain, dengan tidak mempersoalkan siapa dan dimana “sesama” kita itu; Kasih kepada sesama itu tidak hanya terdiri dari perasaan yang luhur dan perkataan yang muluk-muluk, tetapi harus menjadi nyata dalam perbuatan praktis; dalam hal ini tidak boleh di buat perbedaan antara golongan sendiri dan “orang-orang di luar”, sebab kata “sesama” itu harus di artikan sebagai “sesama manusia”.

Sebagai orang-orang yang telah mengenal Allah dan Yesus Kristus dalam kehidupan masing-masing pribadi, seharusnya dapat menjadi contoh yang nyata bagi orang-orang yang ada di sekeliling, terutama bagi orang-orang yang berbeda keyakinan. Dalam hemat saya jika hal ini kurang disadari oleh setiap pribadi yang telah mengenal Yesus, sudah dapat di pastikan kehidupannya tidak menjadi kontribusi yang berguna bagi orang lain. Bisa jadi justru membawa petaka bagi orang lain dan juga bagi dirinya sendiri yang terlalu “egois” dalam memandang kehidupan.
Kehidupan yang bermakna adalah kehidupan yang dapat membawa pengaruh yang positif bagi orang lain. Kehidupan yang menjadi contoh teladan dimana pun berada. Mengasihi orang yang tidak pernah kita kenal atau kita kasihi lebih bermakna daripada mengasihi orang yang telah terlebih dahulu mengasihi kita. Mengasihi orang yang telah mengasihi kita adalah suatu hal yang tidak lazim terjadi, bahkan hal ini pun dilakukan oleh orang-orang yang belum mengenal Tuhan, dan seringkali orang-orang yang belum mengenal Tuhan, lebih baik daripada orang-orang yang hidup dalam Tuhan.
Hidup dalam kegiatan-kegiatan rohani itu baik, namun terkadang kita terlalu “naif” jadinya. Kita berpikir bahwa kehidupan kita lebih baik dari orang-orang yang ada di luar kegiatan-kegiatan rohani, tetapi saya berpikir orang-orang seperti ini justru mempunyai hidup yang benar-benar menjadi contoh kesaksian hidup yang nyata.
Kebanyakan orang-orang yang hidup dalam kegiatan agamawi lebih cenderung menutup diri dari dunia luar atau dunia sekelilingnya. Tidak berani melihat kenyataan yang ada dan tidak berani untuk memberikan “jawaban” bagi orang-orang yang tidak di kenalnya. Mungkin karena hal ini pula orang-orang yang berada dalam Gereja menjadi “anjing-anjing” yang hanya sekedar mengonggong, tetapi tidak berani keluar untuk menjadi saksi nyata bagi orang lain dan menjawab kebutuhan orang tersebut.
Hidup dalam kegiatan rohani itu penting, tetapi tidak kalah penting juga kehidupan sosial kita dengan orang lain. Kehidupan rohani kita dapat diukur juga dengan seberapa dekat hubungan kita dengan orang-orang yang kita musuhi/benci. Menjadi berkat atau contoh bagi orang yang tidak pernah kita bayangkan atau pikirkan adalah hal yang penting dalam hidup ini.
Perumpamaan ini memberikan kontribusi penting, yaitu belajar untuk menjawab kebutuhan sesama, sekalipun saya tidak mengenal orang tersebut. Namun tidak terlepas juga, hikmat yang telah di berikan Tuhan harus tetap digunakan, karena kalau hanya sekedar menjawab kebutuhan sesama, jangan-jangan saya menjadi orang bodoh yang penuh dengan belas kasihan kepada setiap orang ( maksudnya menolong orang yang sebenarnya tidak butuh atau sebenarnya orang tersebut masih dapat mengusahakan sesuatu-contoh para pengemis yang sebenarnya mereka masih dapat mengusahakan sesuatu untuk kelangsungan hidupnya, namun malas berusaha ).
Daftar Pustaka
 J. Verkuyl, Khotbah di Bukit, terj. Soegiarto (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1968) 68, 69.
 Larry W. Hurtado, “Following Jesus in the Gospel of Mark and Beyond,” dalam Pattern of Discipleship in the New Testament, ed. Richard N. Longenecker (Grand Rapids, Michigan/Cambridge: W.Eerdmans Publ., Co., 1996) 18,19.
 Jack Dean Kingsbury, Conflict in Luke. Jesus, Authorities, Disciples (Minneapolis: Fortress Press, 1991) 118.
 Dr. B. J Boland,Tafsiran Alkitab Injil Lukas, ( BPK Gunung Mulia 2000 ), 266-275
 Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, Full Life Study Bible,( Gandum Mas : :Malang 2004 ),1550
by Yarun F. Bire-Institut Teologi Indonesia (INTI) Bandung