Sabtu, 22 Agustus 2009

From A Woman who need’s someone cares

Saya kelaparan,
Dan anda membentuk kelompok diskusi untuk
Membicarakan kelaparan saya.
Saya terpenjara,
Dan anda menyelip ke kapel anda untuk berdoa
Kebebasan saya.
Saya telanjang,
Dan anda mempertanyakan dalam hati kelayakan
Penampilan saya.
Saya sakit,
Dan anda berlutut dan menaikkan ucapan syukur kepada Tuhan
Atas kesehatan anda.
Saya tidak mempunyai tempat berteduh,
Dan anda berkhotbah tentang kasih Allah
Sebagai tempat berteduh spiritual.
Saya kesepian,
Dan anda meninggalkan saya sendirian untuk berdoa bagi saya.
Anda kelihatan begitu suci, begitu dekat kepada Allah.
Tapi saya tetap amat lapar—kesepian—dan
Kedinginan.

…Terkadang semakin seseorang mempelajari akan Allahnya,
Orang itu akan semakin lupa untuk, bagaimana melakukan
Kasih Allah yang benar kepada sesamanya…
Pikirkanlah! Hidup yang bermanfaat adalah hidup yang tidak
Mementingkan diri sendiri

Tazmania

<$BlogPageTitle$> <$BlogMetaData$>

<$BlogTitle$>

<$BlogDateHeaderDate$>

<$BlogItemTitle$>

<$BlogItemBody$>

posted by <$BlogItemAuthorNickname$> at <$BlogItemDateTime$> "<$BlogItemCommentFormOnclick$>><$BlogItemCommentCount$> comments links to this post <$BlogItemControl$>

<$BlogItemCommentCount$> Comments:

<$BlogCommentAuthor$> said...: <$BlogCommentBody$>; <$BlogCommentDateTime$> <$BlogCommentDeleteIcon$>

<$BlogItemCreate$>

Links to this post:

<$BlogBacklinkControl$> <$BlogBacklinkTitle$> <$BlogBacklinkDeleteIcon$>: <$BlogBacklinkSnippet$>
posted by <$BlogBacklinkAuthor$> @ <$BlogBacklinkDateTime$>

<$BlogItemBacklinkCreate$>

<< Home

<$BlogDescription$>

<$BlogMemberProfile$>

<$BlogPreviousItemTitle$>

My links

Sponsored Links

Downloads
Technology Journal
Templates
Articles
Games
Blogger
Google

Mendengarkan Pasangan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mendengarkan merupakan bagian dari proses komunikasi yang sangat penting dalam hubungan satu dengan lain. Salah satu cara dalam kehidupan untuk menyatakan penghargaan, hormat dan kasih kepada seseorang ialah dengan mendengarkan. Untuk mengerti apa dan bagaimana mendengarkan, hal paling utama adalah mengetahui terlebih dahulu komunikasi itu sendiri. Komunikasi adalah seni penyampaian informasi (pesan, ide, sikap atau gagasan) dari komunikator untuk merubah serta membentuk perilaku komunikan (pola, sikap, pandangan dan pemahamannya) ke pola dan pemahaman yang dikehendaki komunikator (Siahaan, 2000: 4-5) . Dalam bahasa Inggris, kata yang tepat untuk tindakan ini adalah “to share” proses saling berbagi atau menggunakan informasi secara bersama, dan pertalian antara para peserta dalam proses komunikasi. Komunikasi dikatakan sebagai suatu tindakan saling berbagi karena proses azasinya adalah penggunaan bersama. Komunikasi termasuk hal paling wajar dan juga yang paling kompleks dan rumit. Tidak mungkin membayangkan manusia tanpa teringat pada komunikasi itu sendiri. Komunikasi bukanlah suatu tindakan mengirim atau menerima, tetapi lebih tepatnya penggunaan secara bersama-sama. Dalam proses komunikasi itu sendiri, tampaknya membutuhkan dua tindakan, yakni memberi dan menerima. Hal ini terjadi apabila di satu pihak menciptakan informasi, dan sesudah itu pengutaraan tersebut harus digunakan bersama oleh pihak lain. Proses ini dapat dikatakan juga sebagai umpan balik dari proses komunikasi dilakukan. Maksud dari umpan balik yaitu: informasi dikirimkan balik ke sumbernya, dan menerima umpan balik dari orang lain. Sedangkan umpan balik dari orang lain dapat dilihat dalam bentuk kerutan dahi atau senyuman, anggukan atau gelengan kepala, tepukan di bahu atau tamparan di pipi (non verbal), bahasa/kata-kata lisan atau tertulis (verbal). Harus dipahami juga bahwa tidak selamanya komunikasi dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan oleh kedua belah pihak. Fakta dalam kehidupan menyatakan bahwa noise (baca : gangguan) selalu ada dalam kehidupan setiap orang (pembahasan mengenai gangguan di bahas pada bab dua), namun tetap harus dipahami bahwa setiap orang butuh berkomunikasi. Komunikasi merupakan unsur paling penting di dalam pembentukan sebuah keluarga. Untuk lebih jelasnya, diberikan dua contoh kasus : 1. Seorang istri menunggu suaminya pulang, janji pulang jam 06.00 tidak pulang sampai jam 09.00, tetapi tidak menelepon dulu. Begitu pulang jam 09.00, sang istri menyambut dengan kata-kata "kenapa kamu tidak telepon, saya menunggu-nunggu khawatir," dan sang suami membalas dengan santainya “biasa macet”. Sebetulnya waktu 3 jam itu dia menantikan si suami, dan ia merasa cemas, takut kalau-kalau suaminya mengalami kecelakaan, tetapi begitu suaminya pulang yang muncul adalah perasaan marah, dan hal tersebut merusak komunikasi yang ada. Inilah yang akan menjadikan komunikasi itu bermasalah, yaitu bila kurangnya kejelasan dengan perasaan dan kurangnya mendengarkan dengan baik apa yang disampaikan. Bisa dibayangkan betapa mulusnya komunikasi itu kalau si istri misalnya langsung berkata: "Tiga jam kamu tidak memberikan kabar kepada saya, saya menunggu dalam ketegangan dan ketakutan, saya khawatir kamu mengalami kecelakaan," dan sang suami pun dapat membalas dengan suatu permohonan maaf atau dengan suatu penjelasan yang baik agar sang istri dapat memahami mengapa pulang terlambat, dan bukan dengan sebuah lelucon yang sebenarnya dapat merusak perasaan dari sang istri. (Gunadi Paul, Komunikasi dalam Pernikahan,no. Kaset T100B www.telaga.org, hal 4). 2. Seorang istri hendak menyampaikan keluh-kesahnya kepada suaminya setelah semua pekerjaan rumahnya selesai dilakukan. Namun sang suami sudah terlalu capek, dan ingin segera tidur. Hal ini membuat sang istri merasa tidak dihargai dan dihormati, karena sesuatu yang hendak ia bagikan dengan suaminya tidak kesampaian. Sang istri menjadi kesal dengan pribadi suami yang tidak mau mengerti perasaannya. Di sini yang menjadi permasalahan adalah pemilihan waktu yang kurang tepat untuk menyampaikan perasaan dan kurangnya kepedulian atau kurangnya pengertian akan perasaan dari pasangan masing-masing. Ada beberapa hal yang dapat merusak komunikasi antar suami-istri (secara aktif). Contohnya, antara lain : 1. Menyatakan ketidakbenaran atau menyatakan kebenaran, tanpa kasih 2. Pembicaraan yang tajam, selalu berisi kritik, cerewet 3. Tidak mau mengampuni 4. Tidak mau mengakui kesalahan 5. Membuka rahasia kepada orang lain, dan 6. Mengejek, menghina dan meremehkan Selain dari enam hal di atas, faktor yang seringkali membuat komunikasi sendiri tidak berjalan dengan baik dan benar karena adanya “Filter” yang ada pada masing-masing pasangan sebelum mendengarkan pesan di sampaikan. Adapun “Filter-filter” tersebut antara lain pengalaman, budaya, bahasa, kepercayaan, nilai yang dimiliki, hoby, dan asumsi-asumsi terlebih dahulu telah dimiliki (baca ; konsep, pola pikir telah dibentuk terlebih dahulu), yang dapat menghambat di dalam proses komunikasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang memilikinya, namun perlu dikelola dan harus dipelajari lebih lagi untuk sebuah hubungan harmonis. Hal-hal di atas merupakan sebuah gambaran dari ketidakpedulian dalam mendengarkan pasangan, adanya konsep-konsep dan nilai-nilai telah dimiliki oleh setiap pasangan, sehingga membuat komunikasi tersebut “terhalang” serta kurangnya rasa hormat terhadap pasangan. Ketidakpedulian atau tindakan kurang mendengarkan hal-hal sedang di sampaikan, merupakan suatu bentuk komunikasi keliru, yang dapat memicu keretakan dalam hubungan rumah tangga. Menyadari sedini mungkin konflik di dalam rumah tangga merupakan suatu langkah pencegahan dan penanggulangan keretakan hubungan dalam rumah tangga. Peduli kepada pasangan adalah salah satu cara yang dapat digunakan untuk mempertahankan kelangsungan pernikahan telah dijalani. Mendengarkan pasangan adalah suatu bentuk penghormatan kepada pasangan. Komunikasi mendengarkan merupakan sebuah sarana sangat penting yang Allah ciptakan bagi manusia. Dengan komunikasi mendengarkan seseorang dapat mengerti yang diinginkan seseorang untuk dilakukan. Dengan komunikasi, suatu hubungan harmonis terjalin dengan indah. Mendengarkan adalah salah satu bentuk dari komunikasi dua arah dimana satu menyampaikan dan yang lain menerima yang disampaikan. Dengan mendengarkan maka sesuatu diperintahkan atau diinginkan dapat dilakukan. Mendengarkan merupakan suatu bagian di dalam penjelasan bentuk dari informal konseling. Ada tujuh bentuk konseling Kristen (pembahasan ada pada bab selanjutnya) (Collins, 1996: 53-63) : 1. Supportive Konseling 2. Confrontational Konseling 3. Educative konseling 4. Spiritual Konseling 5. Group Konseling 6. Informal Konseling dan 7. Preventive Konseling Bentuk konseling informal di dalam mendengarkan pasangan adalah suatu tawaran diberikan penulis di dalam menyingkapi permasalahan-permasalahan komunikasi di sekitar keluarga. Hal ini sangatlah penting, karena mendengarkan merupakan salah satu cara di dalam mengurangi resiko keretakan dalam hubungan antara suami dan istri. Intinya, proses konseling (baca : mendengarkan) bisa dipahami sebagai pelayanan. Mendengarkan merupakan salah satu cara terbaik menyatakan perhatian. Mendengarkan pasangan merupakan suatu proses aktif dalam menerima rangsangan ke telinga. Dengan mendengarkan yang sedang disampaikan pasangan, dapat membantu mengurangi kejenuhan pasangan, membantu menjadi seorang pendengar yang baik, dapat memberikan dukungan kepada pasangan untuk tetap semangat dan mengurangi resiko keretakan dalam hubungan. Kunci mendengarkan pasangan yang efektif adalah berpartisipasi. Persiapan terbaik untuk mendengarkan partisipatif adalah berlaku seperti seorang berpartisipasi (secara fisik dan mental) dalam tindakan komunikasi. Mungkin terdengar remeh dan berlebihan; tetapi, dalam banyak praktek, inilah mungkin kaidah mendengarkan efektif yang paling banyak diabaikan. Mendengarkan bukan mendengar. Contoh : “berjalan di sebuah taman di tengah kicauan burung pada pagi hari, tetapi karena perut lapar sekali dan pikiran sedang tertuju pada sarapan nasi goreng yang sudah menanti, membuat orang tersebut tidak MENDENGARKAN kicauan itu, walau MENDENGARNYA.”(Trisna, 2000 : 136). Mendengarkan seseorang berarti seseorang sedang berusaha menyediakan waktu bagi orang tersebut, tetapi lebih dari itu, seluruh perhatian terpusat penuh kepadanya. Tidak hanya mendengar kata-katanya, tetapi juga mendengarkan nada suaranya, emosinya, gerak-geriknya, warna perasaannya (moodnya), tarikan otot-otot wajahnya, dan posisi tubuhnya. Sebaliknya hal-hal yang dapat menganggu pikiran dan konsentrasi kepada pasangan, disingkirkan. Posisi tubuh diarahkan kepada pasangan, siap mendengarkan, dan dengan seluruh keberadaan, perhatian terbuka penuh kepada pasangan. Sering seseorang dalam mendengarkan sesuatu disampaikan, melakukannya dengan posisi fisik yang kelihatannya bisa saja dikatakan rileks, namun belum tentu bagi yang menyampaikannya. Tubuh atau fisik merupakan sebuah berita penting yang harus diperhatikan di dalam mendengarkan suatu hal sedang dibicarakan. Tetapi tidak berarti juga bahwa di dalam mendengarkan harus bersikap tegang dan tidak nyaman ketika mendengarkan, hanyalah bahwa tubuh mencerminkan pikiran aktif (harus dipahami bahwa komunikasi adalah suatu tindakan yang aktif, begitu juga mendengarkan) (Devito, 1997: 97). Mendengarkan secara pasif pun pastilah bermanfaat. Mendengarkan secara pasif berarti mendengarkan tanpa berbicara dan tanpa mengarahkan pembicaraan dengan cara-cara non verbal, merupakan cara ampuh untuk mengkomunikasikan akseptansi. Mendengarkan secara pasif memungkinkan pembicara mengembangkan pemikiran dan gagasannya di depan orang lain yang menerima tetapi tidak mengevaluasi, mendukung tetapi tidak mencampuri. Dengan mendengarkan secara pasif, menciptakan suasana mendukung dan reseptif. Bila ini telah tercipta, mungkin dapat memulai berpartisipasi secara lebih aktif, secara verbal dan non verbal. Menyadari bahwa komunikasi itu penting dalam keluarga, maka penulis tertarik untuk mengangkat hal itu menjadi satu pokok penelitian. 1.2 Pokok Permasalahan Mendengarkan pasangan merupakan komunikasi dua arah yang harus disadari oleh pasangan, baik suami maupun istri, dalam kehidupan keluarga Kristen. 1.3 Rumusan Masalah Melalui pokok permasalahan tersebut di atas, maka dapatlah dirumuskan masalah yang ingin di jawab melalui penulisan skripsi ini, yaitu : - Bagaimana komunikasi yang baik? - Bagaimana mendengarkan dengan baik? 1.4 Asumsi Diduga kurangnya kepedulian dalam bentuk mendengarkan antara suami-istri, dapat mengakibatkan rusaknya hubungan yang ada antara kedua pasangan. 1.5 Tujuan Penulisan 1. Tujuan penulisan skripsi ini bahwa mendengarkan merupakan suatu hal yang penting untuk mempertahankan suatu hubungan dalam satu keluarga 2. Memberikan suatu masukan kepada para pembaca akan pentingnya memahami komunikasi untuk kelangsungan dari suatu hubungan 3. Menjelaskan komunikasi yang baik dan benar dalam membangun suatu hubungan dalam satu keluarga 1.6 Pentingnya Penulisan 1. Secara praktis agar setiap pasangan menyadari akan pentingnya komunikasi dalam bentuk mendengarkan 2. Secara teori mendengarkan merupakan komunikasi dua arah yang harus dilakukan dalam hubungan komunikasi antar pasangan 3. Sebagai asumsi bagi para pasangan untuk menyadari betapa pentingnya menghargai pasangan ketika sedang berbicara 4. Memenuhi persyaratan akademis, sebagai tugas akhir perkuliahan yang menentukan kelulusan pada program srata satu (S1) di Institut Teologi Indonesia Bandung. 1.7 Definisi istilah/singkatan 1. Komunikasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih dengan cara tepat, sehingga pesan dimaksudkan dapat dipahami; hubungan; kontak. Sedangkan komunikasi dua arah adalah komunikasi yang komunikan dan komunikatornya dalam satu saat bergantian memberikan informasi (untuk formal, tingkat ketepatan, keringkasan dan kecepatan komunikasi; untuk massa, penyebaran informasi yang dilakukan oleh suatu kelompok sosial tertentu kepada pendengar atau hadirin yang luas dan heterogen serta tersebar dalam masyarakat; sosial, komunikasi antar kelompok sosial dalam masyarakat) (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990:196) Yang dimaksudkan dengan komunikasi di dalam tulisan ini : suatu proses yang membuat adanya kebersamaan bagi dua orang atau lebih, dan disampaikan dalam bentuk verbal maupun non verbal. Komunikasi merupakan suatu proses. 2. Mendengarkan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berasal dari kata “dengar” yang mempunyai pengertian, pertemuan yang diadakan untuk mendengarkan penjelasan atau pendapat seorang pejabat berwenang mengenai pelaksanaan kegiatan dan sebagainya dibatasi tugas dan kewenangannya. Untuk kata “mendengar”, mempunyai beberapa pengertian: 1. Dapat menangkap suara (bunyi) dengan telinga; tidak tuli; 2. Mendapat kabar 3. Telah mendengarkan (resolusi; keputusan) 4. Menurut; mengindahkan Untuk kata mendengarkan, mempunyai pengertian, antara lain : 1. Mendengar akan sesuatu dengan sungguh-sungguh; memasang telinga baik-baik untuk mendengar 2. Memperhatikan; mengindahkan; menurut (nasihat, bujukan) (1990: 454). Mendengarkan adalah suatu proses aktif menerima rangsangan (stimulus) telinga (aural). Mendengarkan tidak terjadi begitu saja; harus dilakukan. Mendengarkan menuntut tenaga dan komitmen. Mendengarkan (listening) menyangkut penerimaan rangsangan, dan karenanya berbeda dengan mendengar (hearing) sebagai suatu proses fisiologis. Kata menerima menegaskan bahwa seseorang menyerap rangsangan (stimulus) dan memprosesnya dengan cara tertentu. Setidak-tidaknya selama beberapa waktu, isyarat yang diterima ditahan. Mendengarkan menyangkut rangsangan aural—yaitu, isyarat, (gelombang suara) yang diterima oleh telinga. Mendengarkan, karenanya, tidak terbatas hanya pada isyarat-isyarat verbal (kata), melainkan juga mencakup semua isyarat yang dapat di dengar : suara bising selain juga kata-kata, musik selain juga prosa. Mendengarkan adalah keterampilan yang sangat penting dalam segala bentuk komunikasi antarmanusia (Devito, 1997:93-94). Yang dimaksudkan dengan mendengarkan dalam tulisan ini : proses aktif dalam menerima pesan yang sedang disampaikan. 3. Konseling Kristen Collins dalam bukunya “Konseling Kristen yang efektif” menyatakan bahwa arti dari konseling Kristen adalah hubungan timbal balik antara dua individu, yaitu konselor yang berusaha atau membimbing dan konsele yang membutuhkan pengertian untuk mengatasi persoalan yang dihadapinya. Dalam hal ini, seorang konselor Kristen akan berusaha mengaplikasikan kebenaran Firman Tuhan atas persoalan-persoalan hidup ini (Collins, 1996:3). Dalam tulisan ini yang dimaksudkan dengan konseling Kristen: suatu bimbingan oleh konselor kepada seseorang konsele dengan menerapkan Firman Tuhan di dalam kehidupannya. 4. Keluarga Kristen Edith Schaeffer dalam buku Collins “Konseling yang Efektif” memberikan definisi mengenai keluarga Kristen adalah lingkungan yang hidup stabil di mana masing-masing anggotanya dapat tumbuh. Disinilah tempat lahirnya kreativitas, pusat terbentuknya hubungan yang baik antara sesama manusia, tempat bernaung pada saat menghadapi badai dan persoalan-persoalan yang berat timbul, tempat di mana kebenaran diajarkan dan diterapkan, serta tempat menyimpan banyak kenangan. Pandangan yang baru, yang sering disebut “sistem approach” menganggap bahwa keluarga adalah kumpulan orang yang saling membutuhkan dan saling bergantung satu dengan yang lainnya (1996: 120-121). Definisi keluarga Kristen dalam penulisan ini adalah suatu komunitas kecil yang di dalamnya terdapat kebenaran Firman Tuhan, dibagikan, dan sebagai tempat bernaung pada saat tiada harapan. 1.8 Metodologi dan Prosedur Penulisan Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi deskriptif-analisis berdasarkan dari hasil penelitian dilakukan. Dapat dikatakan bahwa metode deskriptif ini adalah suatu metode atau usaha dalam mengungkapkan suatu masalah, keadaan dan sistematis, sehingga hasil diperoleh hanya merupakan sebuah gambaran dari keadaan yang diteliti. Dan penelitian deskriptif ini juga hanya melaporkan sesuai dengan data yang ada (keadaan yang sesungguhnya). Nazir mendefinisikan deskriptif sebagai suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Sedangkan deskriptif analisis tidak berbeda jauh dengan pengertian deskriptif, hanya saja penambahan pada pengertian analisa, yaitu analisa ditujukan untuk menguji hipotesa-hipotesa dan angka interpretasi yang lebih dalam tentang hubungan. Whitney (1960 : 160), sebagaimana yang dikutip Nazir dalam bukunya Metode Penelitian, mengatakan bahwa deskriptif adalah “…suatu pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat, serta situasi-situasi tertentu, termasuk hubungan, kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena” Prosedur penelitian ini dimulai dengan membagikan kuisioner sebagai data primer, dan literatur sebagai data sekunder. Kuisioner merupakan alat untuk memperoleh informasi atau data untuk menjawab rumusan masalah penelitian yang telah dirumuskan. Berhasil tidaknya tujuan penelitian tergantung pada kuisioner yang dibuat (Sukamto, 2006 : 94). Untuk data sekunder, penulis menggunakan literatur buku yang membahas masalah tersebut (mendengarkan pasangan sebagai suatu bentuk konseling), koran, majalah, dan data-data lainnya dari internet yang dapat mendukung di dalam penulisan skripsi ini. 1.9 Ruang Lingkup Permasalahan Skripsi ini khusus membahas masalah dalam mendengarkan pasangan sebagai suatu bentuk usulan bagi konseling Kristen di GKPB Fajar pengharapan satelit Lembang. 1.10 Sistematika Penulisan BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar belakang masalah. 1.2. Pokok Permasalahan 1.3. Rumusan masalah. 1.4. Asumsi 1.5. Tujuan penulisan 1.6. Pentingnya penulisan. 1.7. Definisi istilah 1.8. Metodologi dan prosedur penulisan 1.9. Ruang lingkup permasalahan 1.10 Sistematika penulisan. BAB 2 Landasan Teori 2.1 Komunikasi 2.2 Mendengarkan 2.3 Konseling BAB 3 Metodologi Penulisan Merupakan metodologi yang dipakai yang memberikan informasi mengenai data, metode penelitian, tempat penelitian, pengumpulan data, dan analisis data. BAB 4 Analisa Data 4.1 Penyajian data dan analisa data BAB 5 Kesimpulan dan Saran 5.1 Berisi kesimpulan dan saran berdasarkan penelitian dan data-data yang ada serta masukan dari penulis sendiri BAB 2 URAIAN TEORITIS Mendengarkan merupakan salah satu bentuk dari komunikasi yang sangat penting di dalam hubungan antara satu dengan lain. Melalui mendengarkan, penyampaian sebuah pesan dan gagasan dimiliki, dapat tercapai dan mengenai sasaran dituju atau diinginkan. Melalui mendengarkan juga (komunikasi), maka konflik atau keretakan hubungan di dalam rumah tangga, dapat diminimalkan. 2.1 Komunikasi Komunikasi adalah seni penyampaian informasi, (pesan, ide, sikap atau gagasan) dari komunikator untuk merubah serta membentuk perilaku komunikan (pola, sikap, pandangan dan pemahamannya) ke pola dan pemahaman dikehendaki komunikator (Siahaan, 2000: 4-5). Dengan berkomunikasi, seorang pasangan dapat mengutarakan keinginan dan perasaan kepada pasangannya. 2.1.1 Lingkungan Komunikasi Lingkungan komunikasi adalah ruang dari tempat berlangsungnya suatu proses komunikasi dalam tata cara dan ketentuan berlaku pada tempat tersebut. Lingkungan komunikasi antara pasangan adalah tempat pasangan dapat saling mengutarakan suatu hal ingin di bicarakan, dan didengarkan oleh pasangan lain. Dalam hal ini lingkungan komunikasi sering digunakan oleh pasangan adalah sewaktu berada di atas tempat tidur atau tempat-tempat “khusus” yang dinilai memungkinkan berbicara berdua. Lingkungan (konteks) dari komunikasi setidak-tidaknya memiliki tiga dimensi: fisik, sosial-psikologis, dan temporal. Ruang atau bangsal atau taman di mana komunikasi berlangsung di sebut konteks atau lingkungan fisik, artinya, lingkungan nyata atau berwujud (tangible). Lingkungan fisik ini, apapun bentuknya, mempunyai pengaruh tertentu atas kandungan pesan (yang akan disampaikan) selain juga bentuk pesan (bagaimana menyampaikan) (Cangara, 2007: 27-28). Dimensi sosial-psikologis meliputi tata hubungan status di antara mereka terlibat, peran dan permainan dijalankan orang, serta aturan budaya masyarakat dimana mereka berkomunikasi. Lingkungan ini juga mencakup rasa persahabatan atau permusuhan, formalitas atau informalitas, situasi serius atau senda-gurau. Dimensi temporal (atau waktu) mencakup waktu dalam sehari maupun waktu dalam hitungan sejarah di mana komunikasi berlangsung. Sebagai contoh, ingat-ingatlah berbagai makna pujian “sederhana” yang disampaikan kepada seorang pasangan, apakah itu disampaikan segera setelah pasangan itu memuji, atau segera setelah meminta tolong kepadanya, atau selama perdebatan. Ketiga dimensi ini saling berinteraksi; masing-masing mempengaruhi dan dipengaruhi oleh yang lain. Sebagai contoh, terlambat memenuhi janji kencan (lingkungan atau konteks temporal) dapat mengakibatkan berubahnya suasana persahabatan permusuhan (lingkungan sosial-psikologis), yang kemudian dapat menyebabkan perubahan kedekatan fisik dan pemilihan rumah makan untuk makan malam (lingkungan fisik). Gambaran di atas merupakan hal penting yang harus dipahami oleh setiap pasangan sewaktu menyampaikan suatu pesan. Di dalam hubungan keluarga, khususnya hubungan suami istri sangatlah penting menyediakan waktu dan tempat memungkinkan untuk dapat saling berbicara sekaligus mendengarkan. 2.1.2 Sumber-Penerima Istilah sumber-penerima sebagai satu kesatuan tak terpisahkan untuk menegaskan bahwa setiap orang terlibat dalam komunikasi adalah sumber (atau pembicara) sekaligus penerima (atau pendengar). Mengirimkan pesan dengan cara berbicara, menulis, memberikan isyarat tubuh, atau tersenyum. Menerima pesan dengan mendengarkan, membaca, membaui dan sebagainya. Tetapi, ketika seseorang mengirimkan pesan, ia juga menerima pesan (2007: 24-26). Seorang pasangan harus bersedia untuk tidak hanya didengarkan mengenai hal yang ingin disampaikannya, tetapi juga bersedia untuk mendengarkan sesuatu yang akan disampaikan oleh pasangannya. Hal ini membuat komunikasi tersebut menjadi dua arah. 2.1.3 Enkoding-Dekoding Dalam ilmu komunikasi, hal ini dinamai tindakan menghasilkan pesan, misalnya, berbicara atau menulis sebagai enkoding (encoding). Dengan menuangkan gagasan ke dalam gelombang suara atau ke atas selembar kertas, menjelmakan gagasan tadi ke dalam kode tertentu, melakukan enkoding. Untuk tindakan menerima pesan, misalnya, mendengarkan atau membaca sebagai dekoding (decoding). Dengan menerjemahkan gelombang suara atau kata-kata di atas kertas menjadi gagasan, hal ini menguraikan kode tadi, melakukan dekoding (2007: 45-46). Dengan melakukan hal ini, dapat dipastikan bahwa seorang pasangan benar-benar terfokus kepada sesuatu sedang disampaikan pasangannya. 2.1.4 Pesan dan saluran Di dalam proses komunikasi, pesan berisi pikiran atau ide atau gagasan, perasaan dikirim komunikator kepada komunikan dalam bentuk simbol (Liliweri, 2003: 27). Misalnya, bentuk verbal (lisan dan tertulis) dan non verbal (tanpa kata), dapat dilihat melalui busana dikenakan saat berkomunikasi, cara berjalan, berjabat tangan, menggelengkan kepala, menyisir rambut, duduk dan tersenyum. Pendeknya, segala hal dalam diri ini melakukan komunikasi. Dan tidak kalah pentingnya adalah menyadari bahwa setiap pesan mempunyai 3 komponen, yaitu : a. 38% nada suara (bagaimana mengatakan sesuatu), b. 7% perkataan-perkataan benar-benar diucapkan, dan c. 55% bahasa tubuh. Isi dari pesan yang disampaikan merupakan hal penting juga di dalam berkomunikasi. Isi dari pesan dapat mengandung perasaan, emosi dan pemikiran dari pasangan. Ini merupakan suatu hal yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Oleh karena itu sangatlah penting memahami isi dan bentuk dari pesan yang dikomunikasikan oleh pasangan. Mengenai saluran dari komunikasi (baca : media), jarang sekali hanya satu media digunakan. Biasanya menggunakan sekitar dua atau tiga media berbeda secara simultan. Sebagai contoh, dalam interaksi tatap muka seseorang berbicara dan mendengar (media suara), memberikan isyarat tubuh dan menerima isyarat ini secara visual (media visual), memancarkan dan mencium bau-bauan (media olfaktori), dan saling menyentuh adalah komunikasi (media taktil) (Tubbs & Moss, 1996: 10-11). 2.1.5 Umpan Balik Umpan balik adalah informasi dikirimkan balik ke sumbernya (Clement, Frandsen, 1976: 11). Umpan balik dapat berasal dari diri sendiri atau dari orang lain. Bila sedang menyampaikan pesan kepada orang lain, maka pesan tersebut di dengar oleh diri sendiri. Artinya, orang tersebut menerima umpan balik dari pesannya sendiri. Selain umpan balik sendiri, seseorang juga menerima umpan balik dari orang lain. Umpan balik ini dapat datang dalam berbagai bentuk : kerutan dahi atau senyuman, anggukan atau gelengan kepala, tepukan di bahu atau tamparan di pipi, semuanya adalah bentuk umpan balik. Umpan balik ini berfungsi untuk melihat sejauh mana kepedulian dari seorang pasangan kepada lainnya ketika berkomunikasi. Dengan menerima umpan balik, komunikasi yang sedang dilakukan menjadi searah. 2.1.6 Gangguan Gangguan atau noise itu sendiri adalah suatu gangguan dalam komunikasi yang mendistorsi pesan disampaikan. Gangguan menghambat komunikan menerima pesan dan sumber pesan (Liliweri, 2003: 30). Gangguan (noise) dikatakan ada dalam suatu sistem komunikasi, sehingga membuat isi pesan disampaikan berbeda dengan diterima. Mengutip pendapat Devito, dalam buku Dasar-dasar komunikasi Antar Budaya menggolongkan tiga macam gangguan, yaitu : Tabel 1.1 Macam Definisi Contoh Fisik Interfensi dengan transmisi fisik isyarat atau pesan lain Desingan mobil yang lewat, dengungan computer, kacamata Psikologis Interfensi kognitif atau mental Prasangka dan bias pada sumber-penerima, pikiran yang sempit Semantik Pembicara dan pendengar memberi arti yang berlainan Orang berbicara dengan bahasa berbeda, menggunakan jargon atau istilah terlalu rumit, tidak dipahami pendengar Beberapa hal dapat dilakukan untuk mengurangi gangguan, yaitu: penggunakan bahasa lebih akurat, mempelajari keterampilan mengirim dan menerima pesan non verbal, meningkatkan keterampilan mendengarkan, menerima serta mengirimkan umpan balik. Hal penting lain yang harus dipahami adalah kegagalan komunikasi tidak mesti harus bersifat total sehingga berarti berhentinya seluruh proses komunikasi manusia. Kegagalan dapat bersifat sebagian atau menyeluruh, tetapi umumnya selalu bersifat sebagian saja apabila seseorang menganggap komunikasi tersebut sedang berlangsung dan sinambung (meskipun disertai hambatan, dalam artian adanya kesenjangan generasi, kredibilitas, kegagalan untuk berkomunikasi, orang bercakap tanpa berbicara, atau mendengar-hearing tanpa mendengarkan-listening). Kegagalan komunikasi (hambatan atau kesenjangan) adalah masalah tingkatan, dapat diukur pada suatu continuum (rentangan) (Fisher, 1986: 419-420). Setiap pasangan wajib untuk mengetahui dan menyadari bahwa komunikasi tidak selalu berjalan sesuai dengan diinginkan. Namun bukan berarti tidak mengkomunikasi, tetapi lebih kepada kesadaran akan komunikasi itu sendiri tidak pernah berjalan dengan mulus. 2.1.7 Efek Komunikasi Komunikasi selalu mempunyai efek atau dampak atas satu atau lebih orang yang terlibat dalam tindak komunikasi. Pada setiap tindak komunikasi selalu ada konsekuensi. Ada empat efek dari komunikasi (Sastroputro Santoso, www.penataanruang.net, komunikasi Sosial, remaja Karya) : 1. Perubahan pengetahuan 2. Perubahan pendapat 3. Perubahan sikap, emosi, perasaan 4. Perubahan tingkah laku. 2.1.8 Etik dan Kebebasan Memilih Komunikasi mengandung konsekuensi, maka ada aspek benar salah dalam setiap tindakan komunikasi. Sebagai contoh, meskipun mungkin efektif bila membesar-besarkan sesuatu dalam menjual produk atau bahkan berbohong dalam suatu kampanye, namun tetap ini tidak etis. Komunikasi itu etis atau tidak etis, landasannya adalah gagasan kebebasan memilih (notion of choice) serta asumsi bahwa setiap orang mempunyai hak untuk menentukan pilihannya sendiri. Komunikasi dikatakan etis bila menjamin kebebasan memilih seseorang dengan memberikan kepada orang tersebut dasar pemilihan yang akurat. Komunikasi dikatakan tidak etis bila mengganggu kebebasan memilih seseorang dengan menghalangi orang tersebut untuk mendapatkan informasi relevan dalam menentukan pilihan. Oleh karenanya, komunikasi yang tidak etis adalah komunikasi memaksa pasangan (1) mengambil pilihan yang secara normal tidak akan dipilihnya atau (2) tidak mengambil pilihan yang secara normal akan dipilihnya (Devito, 1997: 30). 2.1.9 Tujuan Komunikasi 1. Menemukan Salah satu tujuan komunikasi menyangkut penemuan diri (personal discovery). Bila sedang berkomunikasi dengan orang lain, disini secara langsung seseorang sedang belajar mengenai diri sendiri selain juga tentang orang lain. Pada kenyataannya, persepsi diri seseorang sebagian besar dihasilkan dari yang telah dipelajari tentang diri sendiri dari orang lain selama komunikasi, khususnya dalam perjumpaan antar-pribadi. Dengan berbicara tentang diri sendiri, diri sendiri dan orang lain akan memperoleh umpan balik yang berharga mengenai perasaan, pemikiran, dan perilaku. Dari perjumpaan seperti ini dapat disadari, bahwa perasaan diri sendiri ternyata tidak jauh berbeda dengan perasaan orang lain. Pengukuhan positif ini membantu diri sendiri merasa “normal” (Ritonga, 2005:12). 2. Untuk Berhubungan Salah satu motivasi paling kuat dalam tujuan komunikasi adalah berhubungan dengan orang lain atau membina dan memelihara hubungan dengan orang lain. Setiap orang pastinya merasa dicintai dan disukai, dan kemudian disalurkan dengan ingin mencintai dan menyukai orang lain. Setiap orang sadar tidak sadar telah menghabiskan banyak waktu dan energi komunikasi untuk membina dan memelihara hubungan sosial (2005: 14). Pernikahan merupakan hubungan intim dibangun di atas dasar saling pengertian, tetapi agar dapat saling mengerti, haruslah mampu berkomunikasi dengannya. Suami dan istri dapat mengetahui mengenai pasangan hidupnya tanpa benar-benar saling mengenal. Komunikasi merupakan proses memberikan kesempatan kepada setiap pasangan untuk saling mengenal, saling berhubungan, dan untuk memahami arti kehidupan suami atau istri tersebut (Wright, 1999 : 20). 3. Untuk Meyakinkan Tujuan komunikasi juga berfungsi untuk meyakinkan kepada seorang pasangan kepada pasangan lain mengenai suatu hal yang disampaikannya. Meyakinkan suami atau istri mengenai pesan yang dikomunikasikan, merupakan hal penting untuk mendapatkan umpan balik dari suami atau istri itu sendiri. 4. Untuk Bermain Banyak dari perilaku komunikasi dirancang untuk menghibur orang lain. Adakalanya hiburan ini merupakan tujuan akhir, tetapi adakalanya ini merupakan cara untuk mengikat perhatian orang lain, sehingga dapat mencapai tujuan-tujuan lain. Melalui hiburan diberikan, dapat menimbulkan keakraban dan komunikasi berkesinambungan. 2.1.10 Lima Hukum Komunikasi (http://hums07.multiply.com/journal/item/26) 1. Respect Hukum pertama dalam mengembangkan komunikasi efektif adalah sikap menghargai setiap pasangan menjadi sasaran pesan disampaikan. Rasa hormat dan saling menghargai merupakan hukum pertama dalam berkomunikasi dengan orang lain. Ingatlah bahwa pada prinsipnya manusia ingin dihargai dan dianggap penting. Bila harus mengkritik atau memarahi seseorang, lakukan dengan penuh respek terhadap harga diri dan kebanggaaan seseorang. 2. Empathy Empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri pada situasi atau kondisi dihadapi oleh orang lain. Salah satu prasyarat utama dalam memiliki sikap empati adalah kemampuan untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain. Secara khusus Covey menaruh kemampuan untuk mendengarkan sebagai salah satu dari 7 kebiasaan manusia yang sangat efektif, yaitu kebiasaan untuk mengerti terlebih dahulu, baru dimengerti (seek first to understand – understand then be understood to build the skills of empathetic listening that inspires openness and trust). Inilah yang disebutnya dengan Komunikasi empatik. Dengan memahami dan mendengar orang lain terlebih dahulu, dapat membangun keterbukaan dan kepercayaan yang diperlukan dalam membangun kerjasama atau sinergi dengan pasangan dan orang lain (http/7habbits-Covey/www.leadru.com). Rasa empati akan memampukan untuk dapat menyampaikan pesan (message) dengan cara dan sikap yang memudahkan penerima pesan (receiver) menerimanya. Sebelum membangun komunikasi atau mengirimkan pesan, perlu mengerti dan memahami dengan empati pasangan penerima pesan. Sehingga nantinya pesan dapat tersampaikan tanpa ada halangan psikologis atau penolakan dari penerima. Empati bisa juga berarti kemampuan untuk mendengar dan bersikap perseptif atau siap menerima masukan ataupun umpan balik apapun dengan sikap positif. Banyak sekali yang tidak mau mendengarkan saran, masukan apalagi kritik dari pasangannya. Padahal esensi dari komunikasi adalah aliran dua arah. Komunikasi satu arah tidak akan efektif manakala tidak ada umpan balik (feedback), merupakan arus balik dari penerima pesan. 3. Audible Makna dari audible antara lain : dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik. Bila empati berarti harus mendengar terlebih dahulu ataupun mampu menerima umpan balik dengan baik, maka audible berarti pesan disampaikan dapat diterima oleh penerima pesan. Dalam komunikasi personal hal ini berarti bahwa pesan disampaikan dengan cara atau sikap dapat diterima oleh penerima pesan. 4. Clarity Selain bahwa pesan harus dapat dimengerti dengan baik, maka hukum keempat yang terkait dengan itu adalah kejelasan dari pesan itu sendiri sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi atau berbagai penafsiran berlainan. Karena kesalahan penafsiran atau pesan dapat menimbulkan dampak yang tidak sederhana. Clarity dapat pula berarti keterbukaan dan transparansi. Dalam berkomunikasi, perlu mengembangkan sikap terbuka (tidak ada ditutupi atau disembunyikan), sehingga dapat menimbulkan rasa percaya (trust) dari penerima pesan. 5. Humble Hukum kelima dalam membangun komunikasi efektif adalah sikap rendah hati. Sikap ini merupakan unsur yang terkait dengan hukum pertama untuk membangun rasa menghargai pasangan, biasanya didasari oleh sikap rendah hati yang dimiliki. Sikap rendah hati, sikap menghargai, mau mendengar dan menerima kritik, tidak sombong dan tidak memandang rendah pasangan, berani mengakui kesalahan, rela memaafkan, lemah lembut dan penuh pengendalian diri, serta mengutamakan kepentingan lebih besar. 2.2 Mendengarkan Semua orang mempunyai kebutuhan untuk dihargai, dihormati, dan dikasihi. Kalau kebutuhan ini tidak terpenuhi,jiwa dan kepribadian mungkin menjadi “sakit”. Sama halnya dengan pasangan, yang mempunyai kebutuhan besar akan hal tersebut. Salah satu cara menyatakan penghargaan, hormat, kasih kepada seseorang adalah mendengarkan (Trisna, 2000: 134). Mendengarkan adalah suatu proses aktif menerima rangsangan (stimulus) telinga (aural). Mendengarkan tidak terjadi begitu saja; mendengarkan harus dilakukan. Mendengarkan (listening) menyangkut penerimaan rangsangan dan karenanya berbeda dengan mendengar (hearing) sebagai suatu proses fisiologis (Tubbs & Moss,1996: 10). Kata menerima menegaskan bahwa seseorang menyerap rangsangan (stimulus) dan memprosesnya dengan cara tertentu. mendengarkan menyangkut rangsangan aural, yaitu isyarat (gelombang suara) diterima oleh telinga. Mendengarkan, karena tidak terbatas hanya pada isyarat-isyarat verbal (kata), melainkan juga mencakup semua isyarat dapat didengar. Mendengarkan adalah keterampilan sangat penting dalam segala bentuk komunikasi antarmanusia. Dalam proses konseling sendiri, mendengarkan merupakan suatu cara sangat baik di dalam menyerap pesan sedang disampaikan. Dan hal ini menunjukkan bahwa pasangan tersebut telah siap baik secara mental maupun kognisi untuk mendengarkan pesan disampaikan. 2.2.1 Jenis-jenis Mendengarkan Ada tiga jenis mendengarkan (Tubbs & Moss, 1996: 166-167) : 1. Mendengarkan menyenangkan-mendengarkan mengenai hal-hal menarik, sesuatu yang dapat menghibur 2. Mendengarkan secara diskriminatif-ini merupakan jenis mendengarkan yang lebih serius terutama digunakan memahami atau mengingat (contoh: di dalam kelas) 3. Mendengarkan secara kritis-biasanya dibutuhkan bila mencurigai suatu sumber informasi bermasalah. 2.2.2 Hambatan-hambatan terhadap Mendengarkan yang Efektif Ada enam hal yang dapat menjadi hambatan (Devito, 1997: 95-96): 1. Sibuk dengan Diri Sendiri. Hal ini terlihat ketika seseorang terlalu memusatkan perhatian pada tindak-tanduknya sendiri selama interaksi dan pada masalah apakah mengkomunikasikan citra yang tepat (Biasanya karena sering memikul peran sebagai pembicara) 2. Sibuk dengan Masalah-masalah Eksternal. Hal ini disebabkan karena cenderung memusatkan perhatian pada masalah-masalah tidak relevan dengan interaksi 3. Mempertajam (Sharpening). Dalam mempertajam, satu atau dua aspek dari pesan disoroti, barangkali dibumbui,dan biasanya dipertajam adalah hal menonjol 4. Asimilasi. Kecenderungan untuk merekonstruksi pesan sedemikian hingga sesuai dengan sikap, prasangka, kebutuhan dan nilai sendiri 5. Faktor Kawan atau Lawan. Hal ini membuat terdistorsi pesan karena sikap seseorang terhadap lain 6. Mendengarkan diharapkan. Hal ini terjadi karena tidak mendengar sebenarnya dikatakan, dan sebaliknya mendengarkan diharapkan. 2.2.3 Mendengarkan secara Efektif 1. Mendengarkan partisipatif dan pasif Kunci mendengarkan efektif adalah berpartisipasi. Persiapan terbaik adalah berlaku seperti seseorang yang berpartisipasi (secara fisik dan mental) dalam tindak komunikasi. Ini mungkin terdengar remeh dan berlebihan, tetapi dalam praktek, inilah mungkin kaidah mendengarkan efektif paling banyak diabaikan (harus disadari bahwa tubuh merupakan berita penting). 2. Mendengarkan secara empatik dan secara objektif Berempati kepada orang lain adalah ikut merasakan yang dirasakan mereka, melihat dunia mereka seperti mereka lihat. Bila seseorang berempati, berarti ia sedang belajar untuk memahami maksud orang lain sepenuhnya. Harus disadari bahwa tidak hanya berempati saja, tetapi juga harus objektif di dalam melihat dunia orang lain. Penting berempati, tetapi lebih baik objektif dalam memasuki dunia seseorang. 3. Mendengarkan tanpa menilai dan mendengarkan secara kritis Mendengarkan secara efektif melibatkan tanggapan baik yang bersifat tidak menilai (nonjudgmental) maupun kritis. Mendengarkan dengan pikiran terbuka membantu dalam memahami pesan secara lebih baik, dan mendengarkan dengan kritis, membantu di dalam menganalisis pemahaman serta mengevaluasi pesan tersebut. 4. Mendengarkan secara dangkal dan secara dalam Dalam mendengarkan, haruslah sangat peka terhadap berbagai tingkat makna. Bila hanya menanggapi komunikasi tingkat permukaan (makna harfiah), kehilangan kesempatan untuk membuat kontak lebih berarti dengan perasaan dan kebutuhan sebenarnya dari orang bersangkutan. 2.2.4 Enam Unsur Mendengarkan Secara Aktif (Devito, 1997 :102) 1. Listening-mendengarkan sunguh-sungguh pesan disampaikan 2. Understanding-melakukan pengulangan isi pesan 3. Remembering menyiapkan catatan kecil agar tidak cepat lupa 4. Interpreting-berusaha menginterpretasi maksud pembicara 5. Evaluating-mengevaluasi apakah persepsi sudah benar 6. Responding-merespon dengan secepat mungkin dan tepat. 2.2.5 Teknik-teknik Mendengarkan Aktif Menjadi pendengar yang baik membutuhkan usaha dan latihan teratur. Langkah terpenting pertama harus dilakukan adalah menyadari bahwa mendengarkan seseorang berbicara adalah suatu kebutuhan sama pentingnya dengan keterampilan berkomunikasi yang lain seperti: berbicara, menulis dan membaca. 10 hal dalam mendengarkan secara aktif (wirawax-mendengarkan secara aktif/html): 1. Mencoba memahami pokok pikiran dan mengulangi pembicaraan 2. Hindari gangguan dari lingkungan sekitar 3. Mencoba untuk mengendalikan emosi 4. Membuat catatan jelas dan singkat 5. Mencoba untuk bersikap empati 6. Mendengarkan dengan selektif 7. Memperhatikan komunikasi non verbal 8. Bertanya pada tempatnya 9. Buatlah kesimpulan atas apa yang menjadi inti pembicaraan 10. Memberikan umpan balik. 2.2.6 Umpan Balik Umpan Balik merupakan tanggapan balik dari komunikan kepada komunikator atas pesan-pesan yang telah disampaikan. Tanpa hal ini, maka komunikan dan komunikator tidak dapat memahami ide, pikiran dan perasaaan yang terkandung dalam pesan tersebut (Liliweri, 2003: 30). Empat hal dalam memberikan umpan balik (Devito, 1997: 104) : 1. Kesegeraan umpan balik segera setelah pesan diterima 2. Kejujuran atau reaksi jujur terhadap suatu komunikasi 3. Kepatutan mengenai patut dan tidak patut dalam komunikasi 4. Kejelasan mengenai pesan, dan mengenai makna dari pesan. 2.2.7 Komunikasi antara suami isteri Keluarga merupakan unit terkecil dari susunan masyarakat dan merupakan batu dasar dari bangunan suatu bangsa. Untuk membangun dan mewujudkan suatu masyarakat yang sejahtera, bahagia, damai, hal tersebut dimulai dari keluarga. Dalam keluarga perlu tercipta suasana penuh bahagia yang nantinya menjadi dasar terciptanya kerukunan dalam masyarakat. Untuk itu semua komunikasi efektif perlu terjalin dalam keluarga. Dan hal ini dimulai dari hubungan antara suami-istri baik dan benar. Suami istri perlu menekankan tanggung jawab seimbang. memandang kesamaan hak, keunikan masing-masing, kebahagiaan, tanggung jawab dan komitmen sebagai nilai-nilai lebih diutamakan. Mereka perlu menghayati potensi serta kemampuan masing-masing, saling mendukung dan saling membantu serta berusaha untuk tidak saling menjatuhkan. Masing-masing memikul tanggung jawab penuh atas pikiran, perasaan yang timbul dari tindakan-tindakan dilakukan. Masing-masing dapat mengungkapkan pandangan-pandangan dan harapan –harapan dengan penuh percaya diri, tidak merendahkan, memaksa atau tanpa memberi kesempatan kepada yang lain untuk berkomentar (http: Menjalin Komunikasi dalam Keluarga/artikel 04-1I). Komunikasi dalam keluarga terjalin baik bila masing-masing anggota keluarga sungguh-sungguh dalam memberikan dan menerima informasi. Karena dalam komunikasi ini tidak hanya dimaksudkan “memberitahu“ tetapi terkandung sifat berbagi diri, pikiran, perasaan, aspirasi dan aneka segi kehidupan. Dalam keluarga, komunikasi harus terjalin antara suami-isteri (yang akan dijadikan penelitian), maupun antara orang tua dengan anak, tanpa itu semua komunikasi efektif jauh dari yang diharapkan. 2.2.8 Mendengarkan Pasangan Yakobus 1:19 “Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini; setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah.” Mendengarkan pasangan membutuhkan konsentrasi dan kekuatan mental. Hal ini sama saja dengan bekerja. Seorang pasangan harus mendengarkan dengan telinga, mata, hati tubuh, dan lain-lain. Mendengarkan pasangan dan berbicara adalah hal yang vital untuk keintiman dari hubungan pernikahan. Mendengarkan pasangan sama saja dengan sedang berempati terhadap pasangan itu sendiri. Sewaktu mendengarkan, berarti sedang mencoba mengerti perasaan pasangan dan mendengarkan demi dia (Tan, 2001: 62). Mendengarkan dengan sungguh menyatakan secara tidak langsung suatu rasa ketertarikan yang jelas terhadap perasaan dan pandangan pasangan serta ada suatu usaha untuk mengerti pasangan dari sudut pandangnya. 2.2.9 Mendengarkan pasangan yang baik vs tidak baik Ada dua musuh utama di dalam mendengarkan pasangan, yaitu: 1. Membiarkan adanya penyekat antara suami-istri dengan cara : a. Diam atau membisu saja b. Sengaja menyembunyikan 2. Merusak komunikasi antara suami-istri dengan cara : a. Menyatakan ketidakbenaran atau menyatakan kebenaran, tetapi tanpa kasih b. Pembicaraan yang tajam, selalu berisi kritik, cerewet c. Tidak mau mengampuni d. Tak mau mengakui kesalahan e. Membuka rahasia kepada orang lain f. Mengejek, menghina dan meremehkan Untuk dapat menyelesaikan konflik diatas, diperlukan cara-cara dan aturan main yang tidak dapat dilanggar begitu saja oleh setiap pasangan. Dibutuhkan komitmen dan kesetiaan di dalam menjaganya. 1. Tempat dan waktu harus tepat di dalam menyampaikan sesuatu 2. Adanya tujuan untuk lebih saling mengenal dan menyelesaikan masalah 3. Jangan untuk menentukan siapa yang “menang/kalah” 4. Jangan mengkritik sesuatu yang tidak dapat atau sulit diubah 5. Jangan berteriak 6. Jangan menggunakan “senjata” yang mematikan (contoh : brengsek, tolol, goblok, gila, benci) 7. Jangan mengancam dengan kata “cerai”, jangan menggunakan kekerasan 8. Jangan menggeneralisasi 9. Jangan menyerang pribadi. Bersama-sama seranglah masalahnya. 2.2.10 Mendengarkan pasangan dalam keluarga Kristen Collins dalam bukunya “Konseling Kristen yang Efektif” memaparkan bahwa banyak sekali konselor pernikahan menemukan bahwa keretakan hubungan suami istri disebabkan oleh ketidakmampuan berkomunikasi secara efektif. Kadang-kadang dieskpresikan dalam bentuk pertengkaran, perang dingin tanpa bicara, dan dalam bentuk ketidakmampuan untuk secara jujur mengutarakan perasaan dan pikiran mengenai hal-hal penting. Tidak ada pernikahan yang tidak pernah mengalami kesalahpahaman dalam komunikasi, dan frekuensi kesalahpahaman menentukan pernikahan tersebut masih normal atau sudah retak. Dalam ketegangan komunikasi menjadi tidak jelas, membingungkan dan bila tidak dihiraukan biasanya ketegangan bertambah dengan kata-kata menyakitkan dan sinis sangat mudah diucapkan. Jelas suatu tugas tidak mudah bagi konselor untuk menolong memperbaiki komunikasi, apalagi bila orang bersangkutan sendiri tidak ingin mengubah cara mereka dalam berkomunikasi. Di dalam hubungan pernikahan, Alkitab memberikan dua contoh bagaimana sebenarnya wujud dari kasih itu. Pertama suami harus mengasihi istrinya seperti Kristus mengasihi Gereja (Ef.5:25-27) dan kedua kasih dalam ikatan pernikahan sama dengan kasih terhadap diri sendiri (Ef. 5:28-33). Selain itu tujuan dari konseling Kristen juga, mendorong suami istri agar dapat mengutarakan perasaan masing-masing, dapat mengerti dan menerima pasangannya, menolong mengekspresikan kasih yang dapat diwujudkan melalui tindakan komunikasi baik dan benar. Dan untuk mewujudkan hal ini, sudah pasti pasangan harus belajar mendengarkan pasangannya demi keutuhan dari hubungan. Mendengarkan pasangan dalam hubungan suami-istri adalah suatu usaha dan cara dalam mempertahankan pernikahan langgeng dan bahagia, ditandai dengan komunikasi yang baik, dengan cara memahami pasangan secara mendalam. Hal ini dapat dilakukan bila seorang pasangan “memasuki” dunia dan memahami arti-arti dan nilai pribadi pasangannya. Semakin pasangan berempati dengan pasangan secara mendalam, semakin mudah dalam memahami dan mengasihi pasangannya. Mendengarkan pasangan adalah suatu bentuk tindakan mengasihi yang harus dilakukan oleh pasangannya. Dan harus dipahami bahwa di dalam keluarga, kebutuhan ini besar sekali. Keluarga adalah tempat utama dimana kebutuhan untuk didengarkan dan dipenuhi terjadi. Kebutuhan ini sangat besar, dan bila seorang pasangan tidak mendapatkannya, ia akan berusaha untuk mencari-cari cara untuk di dengarkan. Hal penting yaitu mempunyai kepekaan telinga (khususnya kepada pasangan), sehingga dengan segera pasangan dapat memahami dan peka akan kebutuhan dari pasangannya. Dengan mendengarkan seolah-olah seorang suami/istri sedang mengatakan “silakan berbicara, aku mendengarkanmu. Aku menganggapmu berharga, menghormatimu, dan mempedulikanmu” (Trisna, 2000:140). Oleh karena itu, sudah seharusnya mendengarkan pasangan dijadikan salah satu atau suatu cara di dalam menghargai dan mempedulikan perasaan, nilai dan segala sesuatu dalam diri pasangan, harus ada di dalam setiap keluarga kristen saat ini. Ini adalah suatu kebutuhan sangat penting dan berharga untuk dilakukan. Melalui mendengarkan, satu rumah tangga kristen sedang diarahkan kepada pembentukan suatu rumah tangga peduli, menghargai dan menghormati kepribadian pasangannya sendiri. Ini merupakan sebuah usulan dalam melakukan konseling kepada pasangan suami-istri Kristen. 2.3 Konseling Kristen Dalam pembahasan ini, konseling Kristen akan lebih difokuskan kepada keluarga sebagai tolak ukur dari penelitian yang dijalankan (Lebih khususnya kepada hubungan antara suami-istri). Hubungan sehat di dalam keluarga (khususnya di dalam hal komunikasi), membawa kepada keutuhan dari sebuah rumah tangga dan keutuhan dari hubungan suami-istri. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi setiap orang yang melayani sebuah keluarga Kristen perlu memahami konseling Kristen itu sendiri. Konseling adalah hubungan timbal balik antara dua individu, yaitu konselor yang berusaha menolong atau membimbing dan konsele membutuhkan pengertian untuk mengatasi persoalan dihadapinya (dalam hal ini konselor Kristen berusaha mengaplikasikan kebenaran Firman Tuhan atas persoalan-persoalan hidup ini) Collins, 1996: 3. 2.3.1 Tiga Golongan Konseling yaitu (Collins, 1996: 8-9) : 1. Directive-approaches Konselor dipandang sebagai orang dapat menyelesaikan permasalahan dan mampu mengkomunikasikan kepada konsele. Konsele hanya datang untuk menerima petunjuk 2. Permissive-approaches Konsele diberi kesempatan untuk mengatasi persoalannya sendiri. Konselor tidak memberikan diagnosa, lebih banyak mendengar, kadang-kadang menyimpulkan, agar konsele mampu mengeluarkan isi hatinya 3. Interactional-approaches Konselor dan konsele mendiskusikan persoalan, dalam hubungan yang equal, sehingga keduanya dapat mengambil keputusan bagaimana sebaiknya persoalan tersebut diatasi. 2.3.2 Gereja dan Konseling Kristen Dalam Perjanjian Baru, gereja diibaratkan sebagai tubuh Kristus. Tanggung jawab gereja paling utama adalah menolong orang lain (1Kor.12:24-27). Sesuai dengan kehendak Tuhan, seharusnya gereja menjadi kesatuan atau persekutuan dari orang-orang percaya oleh kuasa Roh Kudus diberi kuasa untuk melayani sesama, baik di dalam maupun di luar. Beberapa pandangan menyatakan bahwa konseling adalah salah satu karunia khusus diberikan Tuhan kepada orang-orang percaya untuk membangun gereja dan menguatkan tiap individu. Paulus dalam suratnya di Roma 12:8 menulis mengenai karunia untuk menasihati, dalam bahasa Yunani, digunakan kata paraklesis “datang untuk menolong”. Bahkan dalam arti lebih luas, memberi penghiburan, semangat, dan menasihati. 2.3.3 Ciri-ciri Konseling Kristen Hal paling utama dalam konseling Kristen (sebagai konselor) adalah dapat menggunakan dan mengembangkan bakat kemampuan dimiliki (baca: kepribadian yang baik). Dan supaya lebih baik lagi, haruslah di dukung dengan pengetahuan efektif mengenai konseling. 5 hal harus dimiliki (Gultom, 2006, diktat kuliah Konseling Kasus Khusus, hlm 4): 1. Konselor harus mempunyai kerohanian yang baik (Galatia 5:22-26) 2. Roh Kudus berperan sebagai penuntun (Yoh.16:13-14) 3. Peranan Firman Allah yang memberi Terang dan Hikmat (2Tim.3:7-13) 4. Tujuannya adalah memberi pertimbangan untuk mengambil keputusan yang mengarah kepada perubahan dan pemuliaan 5. Fokus yang diharapkan menjadi serupa dengan Kristus, dengan demikian konseli menjadi mandiri dalam mengatasi masalahnya Titik permulaan untuk semua konselor adalah hubungan mereka dengan Tuhan, yang ditandai dengan kasih (Yohanes 13 : 34-35). Dan tidak berarti juga bahwa setiap orang Kristen adalah konselor yang baik. 2.3.4 Teknik dalam Konseling Kristen Ada enam teknik dalam konseling Kristen (Collins,1996: 24-28) : 1. Mendengarkan Ini adalah bagian sering diabaikan atau dilupakan dalam konseling. Konselor terkadang merasa bahwa tugasnya memberikan sebanyak-banyaknya nasihat, mengutip ayat-ayat atau memberikan pertanyaan-pertanyaan. Mendengarkan membutuhkan konsentrasi penuh. Mendengarkan akan melatih seseorang fokus kepada sesuatu yang sedang dibicarakan. 2. Mengerti Bila ingin mengerti orang lain, cobalah untuk membayangkan melalui jalan pikirannya. Jangan menggunakan konsep sendiri sebelum mengetahui apa yang sedang diinginkan orang tersebut. 3. Menguatkan Sangat penting bagi konselor dapat menguatkan dan meyakinkan konsele, bahwa sekalipun mereka gagal dan berbuat dosa, konselor dapat memahaminya dan tidak menolak, bahkan mengingatkan mereka pada kasih Tuhan (Roma 5:8). Dan harus diingat juga, bahwa seorang konselor harus dapat menyimpan masalah konsele dengan baik. 4. Mengkonfrontasikan dengan kebenaran Firman Allah Tanggung jawab konselor bukan untuk menghakimi, mengecam, mengutuk, menimbulkan perasaan bersalah, tetapi memperhadapkan konsele kepada kegagalannya, perbuatannya, dosanya, atau tingkah laku yang merugikan, yang mungkin tidak dilihat atau disadari konsele. 5. Mengajar Membagikan hikmat kebenaran Firman Tuhan yang dibutuhkan konsele. Ada banyak metode belajar dapat digunakan, disesuaikan saja dengan keadaan konsele agar mudah dipahami. 6. Membimbing kepada Tuhan Hal ini tidak boleh dilaksanakan dengan suatu paksaan. Ini harus dari kesadaran konsele dan bimbingan yang benar dari konselor. 2.3.5 Bentuk-bentuk Konseling Kristen Ada tujuh bentuk konseling Kristen (Collins, 1996: 52-63) : 1. Supportive Konseling Supportive Konseling bukanlah dimaksudkan untuk mengikat konsele dalam hubungan tidak matang dan kekanak-kanakan supaya ia bergantung kepada konselor, tetapi justru sebaliknya, bimbingan konselor itu diberikan sementara konsele mulai maju dan terbeban menghadapi persoalan hidup ini secara efektif. Untuk mencapai hal ini, konsele didorong untuk mengutarakan secara terbuka perasaan dan frustasinya. Konselor harus mengingatkan bila konsele memberikan respon tidak sehat, seperti menolak tanggung jawab terhadap masalah atau tidak mengakui, bahwa masalahnya betul-betul ada dengan mencoba menghindarkan diri dengan fantasi, alkohol, obat-obatan; dan menolak pertolongan dari luar, bahkan menyangkali timbulnya perasaan-perasaan negatif seperti kemarahan, kegelisahan, rasa bersalah, dan menolak memikirkan alternatif-alternatif realistis dengan menjauhkan diri dari sanak keluarga dan teman- teman. 2. Confrontational Konseling Dalam menghadapi orang dengan persoalan-persoalannya, Tuhan Yesus seringkali mengkonfrontasi langsung dosa-dosa mereka, Ia mengkonfrontasi orang muda kaya karena ia banyak memikirkan tentang hartanya (Lukas 18:22); perempuan Samaria dengan perzinahannya (Yohanes 4:17-18); murid-murid-Nya karena kurang percayanya (Matius 8:26; 14:31); dan pemimpin-pemimpin agama karena dosa-dosa mereka (Matius 12:34; 15:7-8; 23:23-33; Yohanes 8:44-45). Hal yang perlu disadari konselor adalah konfrontasi ini tidak sekedar menunjukkan dosa-dosa konsele saja tetapi juga menolong konsele untuk lebih memahami tindakan mereka sendiri, mendorong mereka mendengar yang mungkin tidak mereka sukai, bahkan menolong mereka melakukan langkah-langkah perbaikan yang selama ini mereka tolak. 3. Educative Konseling Pada dasarnya, cara orang berpikir, berbicara, berpakaian dan bergaul adalah hasil dari yang telah dipelajari sejak kecil. Demikian pula dengan cara di dalam menyelesaikan masalah, semuanya adalah hasil dari pengalaman-pengalaman pernah dialaminya. Kenyataannya banyak tingkah laku dapat dipelajari, sangatlah beralasan bila disimpulkan bahwa konseling harus juga meliputi pengajaran dimana tingkah laku tidak efektif dapat diperbaiki dan konsele ditolong untuk belajar tingkah laku lebih baik. Dengan pendekatan seperti ini, konselor adalah seorang pengajar dan konseling Kristen adalah bagian istimewa dari pendidikan agama Kristen. Dalam Educative Konseling ini, harus tetap menunjukkan sikap hati yang rendah dan membiasakan diri untuk berpegang pada firman Tuhan dalam tiap masalah yang ada, dan harus mengakui bila memang benar-benar tidak mengerti jawaban dari persoalan sedang digumuli. 4. Spiritual Konseling Pada pihak tertentu, memang setiap konseling Kristen adalah Spiritual Konseling. Sebagai murid-murid Kristus, mempunyai tugas untuk menjadikan semua orang menjadi murid dan menolong mereka yang lemah (Matius 28:19-20; Galatia 6:1-2; 1Tesalonika 5:14; Roma 15:1). Karena alasan inilah justru tidak bisa secara sembarangan mengemukakan hal-hal rohani, apalagi bilalau masalah dikemukakan adalah non-spiritual. Sebagai konselor spiritual dapat menanyakan, "Bagaimana keadaan rohani akhir- akhir ini?" dan ini seringkali sudah membukakan jalan pada problema rohani tersembunyi. Hal yang harus selalu disadari oleh para konselor, yaitu setiap persoalan manusia selalu menyangkut hubungan dengan Allah dan sesama. 5. Group Konseling Group Konseling atau konseling kelompok juga pernah digunakan oleh Tuhan Yesus dalam menolong orang-orang. Dalam jemaat mula-mula orang-orang bertemu dalam kelompok-kelompok untuk belajar, bersekutu, merayakan perjamuan kudus dan berdoa. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut mereka percaya bahwa Allah juga hadir di antara mereka (Kisah Para Rasul 2:42-47). Selain itu mereka juga membicarakan persoalan-persoalan mereka dan saling tolong menolong dalam kebutuhan mereka. Pada perkembangan berikutnya, kelompok-kelompok tersebut dibagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil lagi, bahkan Gereja-gereja belakangan ini juga membagi jemaatnya menjadi grup-grup yang lebih kecil lagi untuk membagikan pengalaman masing-masing, bersaksi, berdoa (Yakobus 5:16) dan mempelajari firman Tuhan bersama. 6. Informal Konseling - Mendengarkan dengan penuh perhatian - Menggunakan pertanyaan-pertanyaan tambahan untuk memperjelas fokus persoalannya - Mendorong konsele untuk menyimpulkan persoalan dan mencoba membicarakan yang sudah diusahakan pada masa-masa lalu - Memberi informasi - Menolong konsele mengambil keputusan tentang yang ia lakukan - Memberikan kepada konsele dorongan dan harapan - Berjanjilah pada diri sendiri, bahwa akan membantu dalam doa dan benar-benar jangan lupa mendoakannya - Bila memang diperlukan, dapat mengusulkan pertemuan selanjutnya untuk diskusi lebih formal mengenai persoalan itu. 7. Preventive Konseling Konseling tidak dibuat untuk menolong yang tertindas dan menghibur yang susah, tetapi konseling dibuat untuk membebaskan orang dari problema. Karena tujuan konseling adalah membuat orang lepas dari problema, maka ada konselingdibuat untuk mengantisipasi hadirnya masalah tertentu dalam kehidupan orang (Preventive konseling), misalnya premarital-konseling yang ditujukan untuk pasangan-pasangan hendak menikah agar mereka mempunyai bayangan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pernikahan dan bagaimana cara mengatasinya sedini mungkin. Cara paling baik untuk memberikan bimbingan preventif adalah melalui mimbar maupun ceramah-ceramah. 2.3.6 Tujuan Konseling Pernikahan Kristen Ada sembilan tujuan dalam konseling pernikahan: (Collins, 1996 : 128) 1. Membuka jalur komunikasi antara suami-istri dan mendorong mereka untuk dapat mengutarakan perasaan masing-masing 2. Mendorong suami-istri untuk belajar mengerti sikap, tujuan, kebutuhan dan keinginan masing-masing 3. Menolong suami-istri untuk menerima, saling mempercayai dan mencegah sikap menggurui atau mau mengubah partner 4. Membicarakan tujuan pernikahan menurut pribadi masing-masing dan menolong suami-istri untuk dapat merumuskan bersama tujuan dari pernikahan mereka 5. Menolong suami-istri untuk menerima dan menyesuaikan diri dengan keadaan yang mungkin tidak dapat diubah 6. Menolong suami-istri untuk dapat saling mengerti dan menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing dan mewujudkan dalam tindakan konkrit supaya hubungan dapat diperbaiki 7. Mendorong suami-istri untuk mengekspresikan kasih walaupun seringkali perasaan kasih sedang melemah atau tidak ada 8. Menolong suami-istri untuk tidak saling menuntut melainkan lebih bertanggung jawab dalam hubungan satu dengan yang lain 9. Menolong suami-istri mengerti apa yang diajarkan Alkitab tentang kasih, pernikahan, seks, dan menolong mereka hidup sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran Alkitab. 2.3.7 Konseling di dalam Keluarga Tujuan dari konseling ini adalah (Meir dkk. 2004: 215-216) : 1. Menyelesaikan konflik antarpribadi dan membantu pasangan sepakat atau tidak sepakat secara konstruktif. Untuk memperbaiki komunikasi 2. Mendorong masing-masing orang memenuhi kebutuhan emosional 3. Memperjelas relasi peranan 4. Membangun nilai-nilai Kristen dalam keluarga 5. Memperkuat kemampuan masing-masing anggota untuk mengatasi stres dengan cara yang sehat (dari dalam maupun dari luar). 2.4 Kesimpulan Mendengarkan merupakan bagian yang sangat vital di dalam hubungan atau relasi antara suami-istri. Oleh karena itu mendengarkan dapat dijadikan suatu bentuk konseling Kristen. Alasannya, karena : 1. Mendengarkan merupakan sebuah proses penting di dalam menerima dan mengerti maksud dari pesan disampaikan oleh pasangan 2. Mendengarkan merupakan sebuah bentuk penghormatan kepada pasangan suami-istri 3. Melalui mendengarkan (oleh konselor), setiap pasangan (konseli) diajak untuk berempati kepada pasangannya. BAB 3 METODOLOGI 3.1 Data Data primer diperoleh dari hasil kuesioner. Sukamto mengatakan bahwa kuesioner merupakan alat untuk memperoleh informasi atau data untuk menjawab rumusan masalah penelitian yang telah dirumuskan. Berhasil tidaknya tujuan penelitian tergantung pada kuesioner yang dibuat (2006:94). Surakhmad menjelaskan juga bahwa Kuesioner juga dipandang sebagai “interview tertulis”, dengan beberapa perbedaan. Pada angket, yang disebut juga questioner (quistionnare), sampel dihubungi melalui daftar pertanyaan tertulis (1998: 180). Sebagai sebuah teknik (kuesioner), pemakaian yang wajar terbatas pada pengumpulan pendapat (opinier) atau pada pengumpulan fakta yang diketahui oleh sampel, yang tak diperoleh dengan jalan lain. Kuesioner bersifat kooperatif, dalam arti kata bahwa dari sampel, diharapkan kerja sama dalam menyisihkan waktu dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan. Oleh karena itu, diperlukan adanya motivasi yang kuat. Motivasi ini harus dapat mengarahkan perhatian, menimbulkan simpati, keinginan bekerja sama dan kesadaran akan tanggung jawab yang jujur. Data sekunder diperoleh dari literatur atau buku-buku membahas mengenai masalah tersebut (yaitu, bahan-bahan mengenai “mendengarkan dapat dijadikan salah satu bagian di dalam membina suatu hubungan antara suami-istri dalam rumah tangga Kristen). Suryabrata, sebagaimana dikutip oleh Sugiyono, berpendapat bahwa studi literatur dilakukan untuk mencari teori-teori, konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi hasil penelitian yang dapat dijadikan sebagai landasan teoritis untuk sebuah pelaksanaan penelitian (2004:43). Sedangkan Nawawi mengatakan bahwa penelitian literatur adalah: “... kegiatan penelitian yang dilakukan dengan menghimpun data dari berbagai literatur, baik diperpustakaan maupun di tempat-tempat lain. Literatur yang digunakan tidak terbatas hanya buku-buku saja, tetapi juga bacaan-bacaan majalah, koran-koran yang merupakan bahan-bahan tertulis” (1990:30). Selanjutnya, untuk pengumpulan data primer, maka kuesioner dibagikan kepada pasangan suami-istri jemaat GKPB satelit Lembang yang telah terdaftar sebagai jemaat tetap. Dalam penelitian ini juga dipakai data sekunder yang berasal dari literatur, buku-buku konseling, komunikasi yang terkait dan memiliki hubungan dengan tema. 3.2 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif-analitis. Pada umumnya penelitian deskriptif menentukan dan melaporkan keadaan yang ada menurut kenyataannya, dengan mengukurnya. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk mengetahui status dan mendeskripsikan fenomena atau realitas sosial atau menjelaskan dan menerangkan suatu peristiwa (Sukamto, 2006:30). Sedangkan menurut Nazir; metode deskriptif adalah: “... suatu metode dalam meneliti status kelompok orang, suatu subyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki” (1988: 63). Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa metode deskriptif adalah usaha untuk mengungkapkan suatu masalah dan keadaan sebagaimana adanya secara sistematis, sehingga hanya merupakan suatu pemaparan saja. Dan harus diingat di sini bahwa penelitian deskriptif hanya melaporkan keadaan yang sesungguhnya ada. Usman dan Purnomo mengatakan bahwa penelitian deskriptif bermaksud membuat pemeriaan (penyandaran) secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi tertentu (1998:4). Penyelidikan deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang. Metode penyelidikan deskriptif terdapat beberapa teknik : menuturkan, menganalisa, mengklasifikasi; penyelidikan dengan teknik survai, interview, angket, teknik test; studi kasus, komperatif, waktu dan gerak, analisa kuantitatif, dan studi operasional. Tidak mengherankan apabila mudah timbul kekaburan pada istilah tersebut. Pada umumnya persamaan sifat dari segala bentuk penyelidikan deskriptif ini ialah menuturkan dan menafsirkan data yang ada. Misalnya: tentang situasi yang dialami, satu hubungan, kegiatan, pandangan, sikap yang menampak, atau tentang satu proses yang sedang berlangsung pengaruh yang sedang bekerja, kelainan yang sedang muncul, kecenderungan yang menampak, pertentangan yang meruncing, dsb. Pelaksanaan metode-metode deskriptif tidak terbatas hanya sampai pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisa dan interpretasi tentang arti data itu. Data yang telah dikumpulkan mula-mula di susun dan kemudian dianalisa. Tujuan penelitian deskriptif secara umum, (Surakhmad 1998:139-141): 1. Menjelaskan setiap langkah penyelidikan dengan teliti dan terperinci, baik mengenai dasar-dasar metodologi maupun mengenai detail teknik secara khusus 2. Menjelaskan prosedur pengumpulan data, serta pengawasan dan penilaian terhadap data itu 3. Memberi alasan yang kuat mengapa dalam metode deskriptif tersebut penyelidik mempergunakan teknik tertentu dan bukan teknik lainnya. Pada hakekatnya setiap penyelidikan mempunyai sifat deskriptif, dan dalam setiap penyelidikan mengadakan proses analitik. Tahap-tahapnya adalah: pengumpulan data, pengolahan, analisis dan interpretasi data, lalu penyusunan laporan hasil penelitian dengan jalan pengumpulan data dari responden melalui kuesioner. 3.3 Teknik Pengambilan Sampel Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa dalam penelitian deskriptif-analitis, informasi didapat atau diperoleh dari responden melalui alat bantu, dalam hal ini disebut dengan kuesioner atau wawancara. Sukamto mengatakan bahwa kuesioner merupakan alat untuk memperoleh informasi atau data untuk menjawab rumusan masalah penelitian yang telah dirumuskan. Berhasil tidaknya tujuan penelitian tergantung pada kuesioner yang dibuat (Sukamto, 2006 : 94). Populasi merupakan sekumpulan obyek yang menjadi pusat perhatian, dari padanya terkandung informasi yang ingin di ketahui. Mantro dan Kasto, sebagaimana dikutip Sukamto, mendefinisikan populasi sebagai jumlah keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya akan diduga (2006 : 75). Populasi harus sesuai atau erat hubungannya dengan masalah yang ingin dipelajari. Sedangkan sampel merupakan himpunan bagian dari suatu populasi yang diharapkan dapat memberikan gambaran benar tentang populasi. Dari sampel inilah ditarik kesimpulan untuk keseluruhan populasi. Dalam pengambilan sampel, penulis menggunakan sistem Tidak acak-purposif. Sukamto menjelaskan bahwa tidak acak atau secara Purposif, sampel ditetapkan secara sengaja oleh peneliti (2006 : 89). Dan untuk instrument penelitiannya, menggunakan Skala Likert (skala ini digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Jawaban dalam skala ini mempunyai degradasi dari sangat positif sampai sangat negatif (2006 : 91). 4 = Selalu 3 = Sering 2 = Kadang-kadang 1 = Jarang 0 = Tidak pernah Jumlah suami-istri ada 50 pasangan, namun berkurang menjadi 30 pasangan dengan Faktor penyebabnya adalah :  Suami yang meninggal ada 6 orang (dikurangi 6 pasangan)  Cerai 1 orang  7 Pasangan merupakan jemaat simpatisan  Dan 6 pasangan yang lain ada yang tidak aktif (bahkan tidak bergereja) Rumus yang digunakan untuk menghitung jumlah sampel adalah rumus Slovin : n = N 1+ (N) (e)2 n= Jumlah Sampel N= Jumlah Populasi e= Margin of Error (2006 : 79). n = 30 1+ (30) (0.05)2 n = 30 1+ (30) (0.0025)2 n = 30 1+ 0.075 n = 30 1.075 n = 27,9069... = dibulatkan menjadi 28 pasangan. Adapun kelompok yang akan dijadikan sasaran wawancara dalam penelitian ini, yakni pasangan suami-istri yang berjemaat di GKPB Fajar Pengharapan Satelit Lembang. 3.3.1 Tempat Penelitian Tempat penelitian dari studi ini adalah Gereja Kristen Perjanjian Baru satelit Lembang, Jl. Carmel, Grand Hotel Lembang. 3.3.2 Gedung Gereja Saat ini GKPB Lembang telah memiliki bangunan sendiri di Jln. Karmel 108b Lembang, tetapi belum mempunyai izin untuk beribadah. GKPB Lembang masih menggunakan Grand Hotel untuk dijadikan tempat ibadah sementara, dan sekretariat berada di Jln.Karmel 108b Lembang. 3.3.3 Sejarah (Data mengenai sejarah GKPB Lembang diperoleh data hasil wawancara dengan Bpk. Sadrakh dan Bpk. Lukas Budi) GKPB Lembang dimulai sejak tahun 1996 melalui beberapa kelompok cell (Kesan) yang terus berkembang. Dimulai dari kesan dewasa oleh Bpk. Sudarwohadi (alm) (didukung oleh Bpk. Gunawan Tijono), yang memiliki anggota tetap 6 pasangan suami-istri. Di pertengahan tahun 1996, dimulainya kesan pemuda (Leader : Bpk. Lukas Budi) yang kemudian berkembang menjadi persekutuan pemuda dan remaja yang salah satu kegiatannya adalah membentuk team musik. Tanggal 21 juli 1996 dimulai ibadah perdana yang bertempat di Elshadday Lembang dengan jumlah kehadiran 72 orang. Team Leader yang bertanggung jawab saat itu adalah Bpk. Sudarwohadi, Ibu Christian, Ibu Agustin dan Bpk Jules. Tahun 1999, ibadah minggu dipindahkan ke Hotel Diamond Lembang karena :  Lokasi El Shadday sulit dijangkau oleh jemaat  Penggunaan tempat sering bentrok dengan jadwal pengguna lain (karena El Shadday merupakan salah satu tempat retreat). Tahun 2001, ibadah minggu dipindahkan ke Grand Hotel Lembang :  Adanya komplain dari tamu hotel  Ruangan yang kecil  Lokasi Grand Hotel lebih strategis. Di tahun 2003, oleh karena perkembangan yang ada, dan untuk mengusahakan tempat ibadah permanen, maka ibadah minggu diselenggarakan 2 kali. Team leader oleh Bpk Sudarwohadi, Bpk Yohanes, Bpk Soejadi, dan Bpk Sadrakh. Pagi di Grand Hotel dan sore di Pondok Gembala, yang sekaligus berfungsi sebagai sekretariat. Alasannya karena :  Biaya pengoperasian tiap minggu cukup tinggi  Diperlukan tempat permanen sebagai tempat pelayanan Tahun 2004, oleh karena sengketa kepemilikan Pondok Gembala, maka ibadah sore dipindahkan ke Carlo Erba Lembang. Tahun 2005 Bpk Yohanes meninggal dunia dan kepemimpinan dijalankan oleh 3 leader. Tahun 2006, di bulan oktober Bpk Sudarwohadi meninggal, diganti oleh Bpk Ghoan dan Bpk Lukas Budi pada tahun berikutnya. Tahun 2007, Oleh karena sering terganggunya aktifitas ibadah sore, dan guna meningkatkan kualitas ibadah pagi, maka ibadah sore digabungkan menjadi sekali ibadah saja. Hal ini disebabkan karena :  Agustus 2007, youth ministri Lembang membuat suatu event cukup besar (kampanye anti drugs, seks bebas, dan lain-lain), dan mendapat hambatan dari FPI. Dampak dari hal ini pada ibadah sore di Carlo Erba yang belum memiliki ijin beribadah  Konsolidasi, agar ibadah menjadi lebih maksimal 3.3.4 Keanggotaan Jemaat Secara garis besar jumlah jemaat dari awal tahun 1996 ada 72 orang. Di tahun 2005, anggota jemaat meningkat menjadi 186 orang (termasuk anak-anak) yang bergabung secara tetap. Di tahun 2007, anggota jemaat meningkat menjadi 243 orang (termasuk anak). 3.3.5 Program-program Ibadah Untuk program ibadah disesuaikan dengan GKPB Fajar Pengharapan Bandung yang mempunyai program 1 tahun dan di bagi dalam tema-tema berbeda 1 bulan sekali. 3.3.6 Bentuk Ibadah Bentuk ibadahnya bebas, kharismatik. Di awal ibadah dimulai dengan worship leader bersama team musik naik ke atas panggung, membawa beberapa pujian dan penyembahan, dan manager yang bertugas naik ke atas panggung untuk doa pembuka dan sekalian memperkenalkan pembicara (diteruskan dengan pembawa firman naik ke atas panggung). Sebelum penyampain firman dimulai, ditayangkan klip pengantar, pembicara menyapa jemaat dan menyambut baru pertama kali hadir dan khotbah di mulai (semuanya berdasarkan waktu yang telah ditentukan oleh stage manager). Setelah khotbah usai, pembicara mengajak jemaat menyanyikan satu penyembahan, mengajak jemaat untuk meresponi khotbah disampaikan, doa, dan pembicara kembali ke tempat duduk. Klip mengenai program-program dan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan ditayangkan, manager yang bertugas naik ke panggung dan berdoa untuk persembahan diiringi dengan sebuah pujian. Pada akhir ibadah, manager naik ke panggung, mengajak jemaat untuk doa berkat dan ditutup dengan satu pujian akhir. 3.4 Analisis Data Data yang telah diperoleh melalui hasil kuesioner akan dianalisis untuk memperoleh pemahaman dari jemaat GKPB satelit Lembang mengenai pentingnya komunikasi dalam mendengarkan untuk suatu hubungan antara suami-istri, seperti yang dimaksud pada tujuan penelitian. BAB 4 PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA Pengumpulan data melalui Kuesioner terhadap seluruh responden telah dilakukan dari tanggal 1 Maret sampai tanggal 7 April. Setelah seluruh data terkumpul, maka dilakukan pemeriksaan kelengkapan pengisian kuesioner dengan mengelompokkan data-data yang telah masuk, membuat tabel, berguna untuk memudahkan dalam penyebaran data. Mula-mula memberikan tanda berupa angka yang dilakukan dengan meletakkan angka pada tiap jawaban. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam analisa data. Tanda diberikan pada setiap jawaban responden memiliki bobot nilai gradual, berurutan dan berjenjang. Data mentah dipecah berdasarkan pertanyaannya, kemudian dikelompokkan berdasarkan urutan nomor dan tabel berbeda. Data-data telah diperoleh, disusun berdasarkan tiap sub-sub pertanyaan, berguna untuk memudahkan dalam analisa data (lihat lampiran, tabel 4.8 dan tabel 4.9) Setelah mengklasifikasikan data menurut nomor pertanyaannya, maka langkah selanjutnya mulai untuk mencari prosentase dari tiap-tiap nilai dengan jumlah akhir prosentase harus 100%. Jumlah nilai dalam tiap-tiap pertanyaan menunjukkan berapa banyak atau berapa persen dari responden yang memilih jawaban dengan skala nilai 0-4 tersebut. 4.1 Tabel Partisipatif Mendengarkan Pasangan sebagai suatu konseling yang efektif Partisipatif P W p% w% Selalu 36 51 28 12 13 36 69 24 11 - 25.7 36,4 20 8,6 9,3 25,7 49,3 17,1 7,9 - Sering Kadang-kadang Jarang Tidak Pernah 140 140 100 100 Tabel 4.1 memperlihatkan selalu berpartisipasi, baik pria maupun wanita mendapat nilai 36. Untuk nilai sering, pria mendapat nilai 51 dan wanita mendapat nilai 69. (baik itu pembicaraan yang biasa-biasa sampai tingkatan yang lebih mendalam akan makna dan pesan disampaikan). Untuk pasangan yang kadang-kadang berpartisipasi dalam mendengarkan, pria mendapat nilai 28, sedangkan wanita mendapat nilai 24. Jarang berpartisipasi dalam mendengarkan pesan, pria mendapat nilai 12 dan wanita mendapat nilai 11. Dan tidak pernah berpartisipasi dalam mendengarkan, pria mendapat nilai 13 dan wanita tidak ada yang memilih untuk tidak pernah berpartisipasi dalam mendengarkan. Hal ini menunjukkan bahwa berpartisipasi dalam suatu pembicaraan sangat diperlukan oleh pria maupun wanita. 4.2 Tabel Empati Mendengarkan Pasangan sebagai suatu konseling yang efektif Empati P W p% w% Selalu 27 57 24 16 16 37 62 17 17 7 19,4 40,7 17,1 11,4 11,4 26,5 44,3 12,1 12,1 5 Sering Kadang-kadang Jarang Tidak Pernah 140 140 100 100 Tabel 4.2 memberikan asumsi bahwa wanita cenderung lebih berempati daripada laki-laki. Hal ini dilihat dari nilai selalu, pria mendapat nilai 27 dan wanita mendapat nilai 37. Untuk nilai sering, wanita mendapat nilai 62 dan pria mendapat nilai 57. Namun, untuk nilai kadang-kadang berempati dengan pasangannya, pria memperoleh nilai 24 dan lebih banyak dari wanita hanya memperoleh nilai 17. Pada tingkatan jarang serta tidak pernah berempati dengan pasangannya, pria jarang berempati memperoleh nilai 16 (nilai ini sama dengan tidak pernah berempati pasangannya), sedangkan wanita jarang untuk berempati dengan pasangannya mendapat nilai 17, dan tidak pernah berempati dengan pasangannya mendapat nilai 7. Hal ini menunjukkan bahwa pria dan wanita sama-sama memiliki kecenderungan untuk peduli dengan pasangannya (walaupun bila dilihat dari jumlah nilai, wanita memiliki kecenderungan untuk lebih berempati daripada pria). Tabel 4.3 Objektif Mendengarkan Pasangan sebagai suatu konseling yang efektif Objektif P W p% w% Sangat Setuju 24 48 34 13 21 28 64 33 11 4 17,1 34,3 24,3 9,3 15 20 45,7 23,6 7,9 2,8 Setuju Tidak Yakin Kurang Setuju Tidak Setuju 140 140 100 100 Nilai 24 untuk pria, dan wanita nilai 28 memilih sangat setuju untuk menjadi pendengar yang objektif. Pria memilih setuju secara objektif dalam mendengarkan memperoleh nilai 48, dan wanita lebih banyak peduli 11,4% (dari jumlah nilai 64), yang setuju menilai secara objektif diperlukan dalam komunikasi. 24,3% dari jumlah nilai pria, tidak yakin bahwa menilai secara objektif dapat membantu untuk lebih peduli terhadap pasangan, dan wanita 23,6% dari nilai 33 meyakini hal yang sama. Kurang setuju bahwa secara objektif membantu dalam komunikasi, pria 9,3% dari nilai 13 (lebih banyak 1,4%) dan wanita 7,9% dari nilai 11. Dan yang memilih tidak setuju, pria 15% dari nilai 21, dan lebih 17 nilai dari wanita yang tidak setuju (wanita hanya 2,8%). Dari tabel 4.3 didapati bahwa kedua pasangan mempunyai keinginan cukup kuat untuk mau secara objektif melihat “dunia” pasangannya. Hal ini sangat membantu sekali memahami keberadaan pasangan dari sudut pandang dan pola pikir dimilikinya. 4.4 Tabel Tanpa Menilai Mendengarkan Pasangan sebagai suatu konseling yang efektif Tanpa Menilai P W p% w% Sangat Setuju 39 48 27 11 15 20 53 37 19 11 27,8 34,3 19,3 7,9 10,7 14,3 37,8 26,5 13,5 7,9 Setuju Tidak Yakin Kurang Setuju Tidak Setuju 140 140 100 100 Dalam hal mendengarkan tanpa menilai, pria memilih sangat setuju 27,8% dari nilai 39 lebih banyak 13,5% dari 20 nilai atau 14,3% yang dimiliki wanita. Untuk kata setuju, wanita lebih mendominasi 3,5% nilai dari pria. 26,5% dari nilai 37 dimiliki wanita atau lebih 10 nilai dari pria (27 nilai) untuk nilai tidak yakin bahwa mendengarkan tanpa menilai itu membantu dalam memahami pesan. Dalam hal kurang setuju, pria memperoleh nilai 7,9% lebih sedikit dari wanita yang memilih hal ini (13,5% dari nilai 19). Dan yang tidak setuju mendengarkan tanpa menilai itu perlu, pria memperoleh nilai 15 atau lebih banyak 4 nilai dari wanita. Tabel 4.4 memberikan gambaran bahwa pria sangat setuju memberikan penilaian dalam suatu pembicaraan, namun dalam satu sisi mereka tidak setuju bila dinilai sebelum atau sesudah pernyataannya disampaikan. Kecenderungan ini kemungkinan karena faktor pria berfungsi sebagai pengambil keputusan atau karena sebagai kepala keluarga. 4.5 Tabel Kritis Mendengarkan Pasangan sebagai suatu konseling yang efektif Kritis P W p% w% Selalu 25 50 34 23 8 18 61 39 19 3 17,8 35,7 24,3 16,5 5,7 12,9 43,6 27,8 13,6 2,1 Sering Kadang-kadang Jarang Tidak Pernah 140 140 100 100 Mengevaluasi pesan disampaikan membantu di dalam memberikan umpan balik atas pesan tersebut. Selalu mengevaluasi pesan diterima, pria memperoleh nilai 25 dan wanita memperoleh nilai 18. Namun lebih sering untuk mengevaluasi atau memberikan umpan balik adalah wanita (43,6% dari nilai 61) daripada pria (35,7% dari nilai 50). Nilai 34 atau 24,3% diperoleh pria memilih kadang-kadang untuk mengevaluasi pesan, dan lebih 5 nilai dari wanita atau 27,8% yang memilih untuk kadang-kadang mengevaluasi. Pria ada 16,5% dari nilai 23 dan wanita ada 13,6% dari nilai 19 memilih untuk jarang mengevaluasi pesan, dan pria memperoleh 5,7% dari nilai 8 serta wanita memperoleh 2,1% dari nilai 3 memilih untuk tidak pernah mengevaluasi pesan. Tabel 4.5 menggambarkan bahwa pria cenderung mengevaluasi atau memikirkan pemecahan masalah atas pesan diterima daripada wanita (sekali lagi dapat dikatakan hal ini karena faktor pria sebagai kepala keluarga dan sekaligus pengambil keputusan atas suatu masalah sedang dibicarakan). Dan tidak kalah pentingnya menyadari bahwa kedua pasangannya memiliki keinginan untuk mau belajar secara kritis dalam mendengarkan pesan disampaikan pasangannya. 4.6 Tabel Sebagai Konselor Mendengarkan sebagai Konseling Sebagai Konselor P W p% w% Selalu 26 44 25 21 24 35 57 22 20 6 18,6 31,5 17,8 15 17,1 25 40,7 15,7 14,3 4,3 Sering Kadang-kadang Jarang Tidak Pernah 140 140 100 100 Pasangan menjadi konselor bagi pasangannya sendiri adalah orang yang mau peduli dan menghormati pribadi pasangannya. Wanita memperoleh 25% dari nilai 35 dan 18,6% dari nilai 26 diperoleh pria selalu menjadikan dirinya sebagai konselor bagi pasangannya. Untuk nilai sering, wanita memperoleh 57 atau 40,7% dan pria 31,5% dari nilai 44. 17,8% dari nilai 25 diperoleh pria dan 15,7% dari nilai 22 diperoleh wanita yang kadang-kadang menjadi konselor bagi pasangannya. 21 nilai atau 15% dimiliki oleh pria dan wanita memiliki 20 nilai atau 14,3% yang jarang menjadi konselor bagi pasangannya. Tidak pernah menjadi konselor, pria memperoleh nilai 24 dan wanita lebih sedikit jumlahnya 6 nilai. Tabel 4.6 menunjukkan bahwa pria dan wanita mempunyai kecenderungan menjadi konselor yang baik bagi pasangannya sendiri. 4.7 Tabel Sebagai Konseli Mendengarkan sebagai Konseling Sebagai Konseli Frekuensi P W p% w% Selalu 39 34 41 11 15 34 58 21 17 10 27,8 24,3 29,3 7,9 10,7 24,3 41,5 15 12,1 7,1 Sering Kadang-kadang Jarang Tidak Pernah 140 140 100 100 Tabel 4.7 menjelaskan bahwa seorang pasangan tidak selamanya harus menjadi konselor, tetapi ada bagian-bagian tertentu harus menjadi konseli. Pria memperoleh 39 nilai atau 27,8% dan wanita memperoleh 34 nilai atau 24,4%. Untuk nilai sering, wanita 41,5% dari nilai 58 dan pria 24,3% dari nilai 34. Untuk nilai kadang-kadang, pria lebih banyak menjadi konseli 29,3% dan wanita 15%. 17 nilai diperoleh wanita dan 11 nilai diperoleh pria yang jarang menjadi konseli bagi pasangannya. Dan yang tidak pernah menjadi konseli bagi pasangannya, pria memperoleh 15 nilai dan wanita 10 nilai. 4.8 Interpretasi Data Kebanyakan kesulitan-kesulitan di dalam pernikahan berpusat seputar satu hal, Laki-laki dan perempuan secara keseluruhan berbeda (baik secara emosi, mental dan fisik) sangat mencolok, sehingga tanpa usaha yang penuh untuk mengerti perbedaan-perbedaan tersebut, dapat dikatakan tidak mungkin mendapatkan pernikahan yang bahagia (Gary Smalley, dikutip oleh Tan dalam bukunya Keluarga Kristen, 2001 : 24). Tabel 4.1 menggambarkan bahwa untuk nilai tidak berpartisipasi, pria memperoleh 13 nilai karena, dalam banyak hal pria lebih cenderung menggunakan otak sebelah kanannya atau dengan kata lain bahasa yang didengar oleh pria adalah penerimaan informasi (beberapa laki-laki menggunakan otak sebelah kirinya untuk masalah berkata-kata dan sebelah kanan untuk tugas-tugas menganalisa (Tan 2001: 47). Namun berbeda dengan wanita yang lebih terampil dalam mengolah pesan yang diterima, karena wanita lebih banyak menggunakan otak kiri (2001 : 46). Perbedaan genetika otak sebelah kanan dan kiri laki-laki dan perempuan berbeda. Inilah alasan pria sebagaimana mereka adanya, dan masalah komunikasinya. Tabel 4.2 menggambarkan adanya kesamaan jumlah antara nilai jarang dan tidak pernah berempati dengan pasangan pada pria. Hal ini menunjukkan perbedaan gender merupakan masalah utama dalam meresponi dan berempati dengan perasaan pasangannya. Tan (2001 : 42) menggambarkan bahwa pria bersikap praktis, pemikir dan logika, ia berpikir (intelitualisir) dan bagi perempuan yang ia rasakan. Hal ini membuat pria tidak mudah untuk berempati dengan pasangannya. Wanita yang tidak pernah berempati lebih sedikit jumlahnya dari pria karena wanita adalah seorang perasa-emosional (2001 : 43). Laki-laki cenderung berkomunikasi untuk menyelesaikan masalah; perempuan ingin mengutarakan dengan dunia ini, ia menikmati dengan dirinya sendiri (lebih kepada perasaan). Tabel 4.3 memperlihatkan bahwa wanita cenderung lebih objektif dari pria (lihat tabel 4.3 untuk nilai Sangat setuju dan Setuju). Ini menunjukkan bahwa pria tidak menggunakan semua data indera diperolehnya sebagaimana wanita. Kemampuan melihat secara lebih objektif ini dimiliki wanita karena ia mampu menggunakan kedua bagian otaknya secara bergantian bekerja untuk sebuah masalah (2001: 49). Tan mengutip pendapat Robert dan Pamel Crosby dalam bukunya “Now We’re Talking!”, mengatakan ada 5 kebutuhan dasar pria dalam pernikahan, diantaranya adalah pengaguman atau rasa hormat dan dukungan. Tabel 4.4 menunjukkan bahwa pria mudah frustasi ketika ia merasa tidak “dihormati” oleh pasangannya (lihat tabel 4.4 untuk nilai Sangat Setuju). Begitupun dengan wanita, ia akan mudah “meledak” emosinya, karena lebih menggunakan perasaan dalam menanggapi segala sesuatu (lihat tabel 4.4 untuk nilai Setuju). Tabel 4.7 memperlihatkan adanya dua pribadi berbeda namun mempunyai kecenderungan sama untuk menjadikan pribadinya sebagai bagian dari diri pasangannya (hal ini ditunjukkan dengan adanya kebutuhan untuk dipedulikan atau diperhatikan oleh pasangannya sendiri dengan cara menjadi konseli bagi pasangannya sendiri). BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil penyajian data, diperoleh gambaran cukup signifikan bahwa mendengarkan pasangan dalam suatu pembicaraan merupakan suatu hal penting untuk membina suatu hubungan kuat dan terciptanya pola komunikasi baik dan benar. Pentingnya mendengarkan pasangan membuktikan bahwa setiap individu sangat membutuhkan untuk didengarkan oleh orang lain terutama pasangannya sendiri. Sebagai contoh: tabel 4.7 menggambarkan bahwa baik pria maupun wanita mempunyai kecenderungan kuat untuk menjadi konseli bagi pasangannya sendiri, atau hal ini membuktikan keduanya membutuhkan satu dengan lainnya. Melalui komunikasi dalam bentuk mendengarkan pasangan sendiri, dapat membangun rasa percaya yang kuat, menyatakan kepedulian sangat berarti bagi pasangan, dan menunjukkan bahwa penghargaan dan rasa hormat akan keseluruhan hidupnya yang patut didapatkan dari pasangannya sendiri terlebih dahulu. Dan yang tidak kalah pentingnya juga, dengan mendengarkan, menyatakan bahwa kasih Allah terwujud melalui kepedulian seorang pasangan akan pasangan lainnya (lebih khususnya pasangan antara suami-istri dalam suatu pernikahan). 5.2 Saran Memperhatikan pasangan tidaklah harus selalu dengan materi dan kekuasaan, namun kepedulian dan rasa hormat terhadap pasangan jauh lebih berarti dari semuanya. Contoh hal-hal yang dapat dilakukan sebagai bentuk mendengarkan terhadap pasangan : 1. Mengambil waktu untuk berbicara berdua (melakukan komunikasi dua arah) 2. Menidurkan anak lebih awal agar dapat berkomunikasi dengan leluasa 3. Mempersiapkan baik mental dan fisik untuk mendengarkan hal-hal yang disampaikan pasangan 4. Melakukan umpan balik sebagai tanda pesan yang disampaikan didengarkan dengan baik 5. Mendengarkan dengan penuh perhatian mengenai pesan yang disampaikan Relevansi penelitian ini juga membagikan suatu perspektif kepada setiap pasangan, baik itu suami dan istri maupun pasangan yang lainnya untuk lebih menyadari pentingnya komunikasi dalam bentuk mendengarkan. Manfaat dari hal ini adalah dapat fokus dan memberikan umpan balik dari pesan yang sedang disampaikan serta secara tidak langsung menyatakan penghargaan dan penghormatan kepada pribadi pasangan. Hal lain yang dapat menjadi masukan adalah melalui mendengarkan dapat membantu pasangan untuk lebih peka akan kebutuhan dari pasangannya sendiri dan belajar untuk menjadi pendengar baik dan berguna. Daftar Pustaka Cangara, Hafield. 2007 Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: Rajawali Pers Clement, D.A & Frandsen, K.D. 1976 On Conceptual and Empirical Treatments of Feedback in Human Communication, New York: Communication Monographs Collins, Gary R. 1996 Konseling Kristen yang Efektif, Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara Devito, Joseph A. 1997 Komunikasi AntarManusia Kuliah Dasar Edisi Kelima, Jakarta: Profesional Books Fisher, Aubrey B. 1986 Teori Komunikasi-Perspektif mekanistis, psikologis, Interaksional, dan Pragmatis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Gultom, Ridwan. 2006, Diktat Kuliah Konseling Kasus Khusus, Bandung: Institut Teologi Indonesia Liliweri, Alo. 2003 Dasar-dasar Komunikasi AntarBudaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Mantra, bagoes Ida. 2004 Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Meir, Paul D., dkk. 2004 Pengantar Psikologi dan Konseling Kristen 2, Yogyakarta: ANDI Mortensen, David C. 1972 Communication : The Study of Human Interaction, New York: McGraw-Hill Book Company Nazir, Moh. 1988 Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia Ritonga, Jamiluddin M. 2005 Tipologi Pesan Persuasif, Jakarta: PT INDEKS Gramedia Siahaan, S.M. 2000 Komunikasi Pemahaman dan penerapannya, Jakarta: BPK Gunung Mulia Sugiyono. 2004b Statistika untuk Penelitian, Bandung: Alfabeta Sukamto. 2006 Pendekatan KUANTITATIF untuk Penelitian Keagamaan, Bandung: Kerjasama Enlightment dan Pionir Jaya Tan, Joseph. 2001 Keluarga Kristen, Singapore: BAC Printers Telambauna, Fo’arota. 2005 Pengolahan data penelitian perbandingan dan hubungan, Jakarta: UKI, 21-28 Trisna, Jonathan A. 2000 Seri Konseling Kristen ed.2 cet.1Pernikahan Kristen suatu usaha dalam Kristus, Jakarta: Institut Teologi dan Keguruan Indonesia Tubbs, Steward L. & Moss, Sylvia. 1996 Human Communication-Prinsip-prinsip Dasar, Bandung: Remaja Rosdakarya Usman, Husaini dan Purnama Setiady Akbar. 1998 Metode penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Aksara Winarno, Surakhmad. 1998 Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik ed. 8, Bandung: Tarsito Wright, Norman H. 1999 Bagaimana Berbicara dengan Pasangan Anda cet.4, Bandung: Yayasan Kalam Hidup Kamus Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1990 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka Website Covey. http/7Habbits/www.leadru.com, diakses 12 Oktober 2007 Gunadi, Paul. http://www.telaga.org/transkip.php? Nomor Kaset : T100B Komunikasi_dalam_Pernikahan.htm, diakses 28 september,2007 5 Hukum komunikasi. Http://hums07.multiply.com/journal/item/26, diakses 20 Oktober 2007 Pusat informasi peningkatan partisipasi pria. http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/pria/artikel 04-11/ Menjalin Komunikasi dalam Keluarga, diakses 25 september 2007 Sastroputro, Santoso. www.penataanruang.net,komunikasi Sosial, remaja Karya,1989, diakses 12 Oktober 2007 Widodo, James. http://www.mail-archive.com/jesus-net@yahoogroups.com/msg03968.html, diakses 30 Oktober 2007 Wirawax. mendengarkan secara aktif/html.google.id, diakses 20 Oktober 2007 Lampiran Nama-nama responden No. Nama Suami Nama Istri 1 Bpk. Suryadi Ibu. Ani Sri Nurini 2 Bpk. Rudi Rudolof Ibu. Elisabeth Ani 3 Bpk. Lukas Budi Ibu. Ully Christiani 4 Bpk. Tensi Bangun Ibu. Rose Malemkaban 5 Bpk. Mulyono Pitoko Ibu. Esther Sri Rahayu 6 Bpk. Suwito Ibu. Yani 7 Bpk. Ghoan Ibu. Wawa 8 Bpk. Dolat Sembiring Ibu. Titin Supriani 9 Bpk. Jedy Sihombing Ibu. Ledinse Manurung 10 Bpk. Mulyono Ibu. Ani S. 11 Bpk. Budi Jaya Ibu. Sinjani 12 Bpk. Sadrakh Sembiring Ibu. Lena 13 Bpk. Godlive Ibu. Susan 14 Bpk. Yudi Ibu. Susan 15 Bpk. Oyan Ibu. Elis 16 Bpk. Dedy Sumpena Ibu. Arny 17 Bpk. Imanuel Purba Ibu. Maria Sri Wahyuni 18 Bpk. Alex Ibu. Dortina Sirait 19 Bpk. Rendy Ibu. Ritha 20 Bpk. Yohanes Ibu. Nova 21 Bpk. David Purba Ibu. Lussiana 22 Bpk. Richard Tarigan Ibu. Fenny 23 Bpk. Timo Ibu. Mariam 24 Bpk. Joel Nababan Ibu. Nanik 25 Bpk. Andreas Ibu. Nani 26 Bpk. Maya Ibu. Tati 27 Bpk. Daniel Ibu. Kezia 28 Bpk. Tony Ibu. - KUESIONER STUDI KASUS TENTANG MENDENGARKAN PASANGAN SEBAGAI SUATU BENTUK KONSELING KRISTEN DALAM KEHIDUPAN KELUARGA KRISTEN (Suatu studi kasus di Gereja Kristen Perjanjian Baru Satelit Lembang) Dengan Hormat, Sehubungan dengan kebutuhan data untuk penulisan skripsi saya di Program Sarjana Teologi di INTI-Bandung, ijinkan saya meminta bantuan dari Bapak-Ibu untuk berkenan memberi masukan-masukan data melalui kuesioner berikut ini. Daftar pertanyaan ini saya buat untuk keperluan penulisan skripsi saya mengenai “Mendengarkan Pasangan Sebagai suatu Bentuk Konseling Kristen dalam Kehidupan Keluarga Kristen” (Suatu studi kasus di Gereja Kristen Perjanjian Baru Satelit Lembang). Mohon kiranya Bapak-Ibu mengisi semua pertanyaan dalam kuesioner secara lengkap. Kerahasiaan dari data akan saya perhatikan. Saya sangat menghargai apabila ada kritik dan saran yang ingin disampaikan. Hal ini bisa dituliskan di halaman tambahan bagian belakang yang telah disediakan. Dan akhirnya, saya mengucapkan banyak terima kasih untuk kesediaan dan bantuan Bapak-Ibu dalam mengisi kuesioner ini. Tuhan memberkati, Hormat Saya. ( Yarun F. Bire) IDENTITAS Nama :…………………………………………………………………………………. Jenis Kelamin : L/P Status : Menikah Jabatan dalam Pelayanan :…………………………………………………………... Gereja : GKPB Fajar Pengharapan Satelit Lembang Melayani di GKPB sejak/berjemaat sejak :………………………………………… Bandung, …………………… Tanda Tangan No. Kuesioner Penjelasan Umum : Mendengarkan yang dimaksudkan di dalam kuesioner ini adalah suatu kemampuan untuk mendengarkan secara aktif akan sesuatu yang sedang disampaikan oleh pasangan, dan kemudian meresponi/memberikan umpan balik yang menyatakan rasa hormat dan kepedulian atas sesuatu yang sedang disampaikan oleh pasangan. Mendengarkan tidak hanya menyangkut proses verbal, tetapi keseluruhan dari yang didengarkan. Mendengarkan membutuhkan suatu komitmen yang kuat untuk mau menyediakan waktu dan telinga untuk menerima pesan yang sedang disampaikan oleh pasangan. Mendengarkan mencakup seluruh aspek, baik kognitif maupun emosi seseorang. Melalui mendengarkan diharapkan dapat menciptakan suatu keadaan yang lebih baik dalam membina suatu hubungan antara suami-istri. Petunjuk Pengisian Kuisioner Berilah tanda “√” pada pilihan anda di kolom jawaban 0-4. Pilihlah jawaban anda yang paling sesuai/mendekati keadaan yang sebenarnya. 4 = Selalu 3 = Sering 2 = Kadang-kadang 1 = Jarang 0 = Tidak pernah Berilah tanda “√” pada skala kolom sebelah kanan sesuai dengan pilihan Bapak-Ibu. Daftar Pertanyaan : I : Mendengarkan Pasangan sebagai suatu Konseling yang Efektif A. Mendengarkan secara Partisipatif 1 Ketika sedang mendengarkan suatu pesan yang sedang disampaikan oleh pasangan, apakah anda turut berpartisipasi di dalamnya, atau tidak? 4 = Selalu 3 = Sering 2 = Kadang-kadang 1 = Jarang 0 = Tidak pernah 4 3 2 1 0 2 Dengan berpartisipasi, anda sedang melakukan komunikasi dua arah dengan pasangan anda. Anda siap baik secara mental dan fisik untuk mendengarkan pesan yang disampaikan pasangan anda. Seberapa sering anda berpartisipasi ketika pasangan anda sedang berbicara? 4 = Selalu 3 = Sering 2 = Kadang-kadang 1 = Jarang 0 = Tidak pernah 4 3 2 1 0 3 Ketika pasangan anda sedang berbicara mengenai suatu hal yang penting, apakah anda mendengarnya melebihi fakta yang sedang didiskusikan dan mencoba mengerti bagaimana perasaannya mengenai hal tersebut? 4 = Sangat mungkin 3 = Mungkin 2 = Ragu-ragu 2 = Tidak terlalu mungkin 0 = Tidak mungkin 4 3 2 1 0 4 Salah satu motivasi paling kuat dalam komunikasi adalah berhubungan dengan orang lain-pasangan atau membina dan memelihara hubungan dengan orang lain-pasangan. Bagaimana menurut pendapat anda? 4 = Sangat setuju 3 = Setuju 2 = Tidak yakin 1 = Kurang setuju 0 = Tidak setuju 4 3 2 1 0 5 Dengan memahami kondisi dari pasangan, akan memudahkan dalam menerima pesan yang akan disampaikan. Hal yang tidak kalah penting adalah memahami bahasa tubuh dari pasangan ketika sedang berbicara. Ini kelihatannya seperti hal yang sepele, tetapi dalam komunikasi (mendengarkan) semua hal harus menjadi suatu pertimbangan ketika sedang berkomunikasi. Memahami hal ini akan membantu anda untuk mengasihi pasangan anda. Apakah anda sangat memahami pasangan anda? 4 = Sangat memahami 3 = Paham 2 = Cukup paham 1 = Sulit dipahami 0 = Tidak paham 4 3 2 1 0 B. Mendengarkan secara Empati 6 Sebagai orang Kristen, sudah sepatutnya untuk menempatkan diri pada situasi atau kondisi yang sedang dihadapi oleh pasangan. Seberapa jauh anda menempatkan posisi pada keadaan atau situasi yang sedang dialami pasangan anda? 4 = Selalu 3 = Sering 2 = Kadang-kadang 1 = Jarang 0 = Tidak pernah 4 3 2 1 0 7 Dengan memiliki rasa empati terhadap pasangan, akan memudahkan menerima dan memahami pesan yang akan disampaikan oleh pasangan suami/istri itu sendiri. Pemahaman anda akan hal tersebut : 4 = Sangat memahami 3 = Paham 2 = Cukup paham 1 = Sulit dipahami 0 = Tidak paham 4 3 2 1 0 8 Esensi dari komunikasi empati adalah komunikasi dua arah antara suami-istri. Komunikasi satu arah tidak akan efektif dalam membangun hubungan karena pasangan yang lain merasa tidak diacuhkan/dipedulikan akan pesan yang sedang disampaikannya. Menurut pemahaman anda : 4 = Sangat setuju 3 = Setuju 2 = Tidak yakin 1 = Kurang setuju 0 = Tidak setuju 4 3 2 1 0 9 Seberapa sering anda mau mendengarkan kritik dan saran dari pasangan anda terhadap sesuatu yang sedang anda sampaikan? 4 = Selalu 3 = Sering 2 = Kadang-kadang 1 = Jarang 0 = Tidak pernah 4 3 2 1 0 10 Ketika sedang membicarakan suatu hal mengenai keadaan keluarga suami-istri anda, terucap kata-kata yang menyinggung keluarga suami/istri. Yang biasa akan anda lakukan adalah mengacuhkan pasangan, memarahi, dan memukul pasangan anda. 4 = Selalu 3 = Sering 2 = Kadang-kadang 1 = Jarang 0 = Tidak pernah 4 3 2 1 0 C. Mendengarkan secara Objektif 11 Menyadari pentingnya mendengarkan secara objektif, maka anda sedang mengambil langkah yang penting dalam membina komunikasi yang kuat Menurut pemahaman anda : 4 = Sangat setuju 3 = Setuju 2 = Tidak yakin 1 = Kurang setuju 0 = Tidak setuju 4 3 2 1 0 12 Sebagian besar orang-orang lebih banyak untuk tidak mau mendengarkan sebagaimana ia sendiri mau berbicara dan didengarkan. Ini akan membuat orang tersebut lebih memusatkan diri untuk mendapatkan kata-kata yang akan dipakai dalam percakapan, daripada memberi perhatian terhadap sesuatu yang sedang disampaikan lawan bicaranya Apakah anda juga sering untuk lebih mendengarkan pasangan anda, atau tidak mau mengerti dengan pesan yang sedang disampaikan pasangan anda? 4 = Selalu 3 = Sering 2 = Kadang-kadang 1 = Jarang 0 = Tidak pernah 4 3 2 1 0 13 Untuk dapat mengerti pendapat suami-istri memang dibutuhkan banyak waktu dan usaha. Hal ini karena adanya perbedaan latar belakang, pola pikir, gender, dan keyakinan dimiliki oleh pasangan, yang di bawa dalam lingkungan pernikahan. Hal ini dapat menjadi suatu keunikan dalam hubungan, namun dalam sisi yang lain, hal ini dapat menjadi suatu alat “penghancur”, karena tidak adanya saling kepedulian dan pengertian untuk mau memahami keadaan pasangan. Menurut pemahaman anda : 4 = Sangat setuju 3 = Setuju 2 = Tidak yakin 1 = Kurang setuju 0 = Tidak setuju 4 3 2 1 0 14 Mendengarkan secara objektif memampukan anda untuk dapat melihat “dunia” dari pasangan anda. Hal ini akan memampukan anda ketika sedang mendengarkan : anda mampu mengendalikan emosi, bertanya pada tempatnya, dapat memberikan respon yang baik, dan lebih objektif dengan perasaan pasangan suami-istri anda Menurut pemahaman anda : 4 = Sangat setuju 3 = Setuju 2 = Tidak yakin 1 = Kurang setuju 0 = Tidak setuju 4 3 2 1 0 15 Apakah hal-hal atau ungkapan-ungkapan tertentu yang dikatakan pasangan anda, menyebabkan anda berprasangka, sehingga anda tidak dapat secara objektif mendengarkan apa yang sedang dikatakan? 4 = Selalu 3 = Sering 2 = Kadang-kadang 1 = Jarang 0 = Tidak pernah 4 3 2 1 0 D. Mendengarkan tanpa Menilai 16 Ketika sedang mendengarkan sesuatu yang sedang disampaikan oleh pasangan anda, apakah anda benar-benar sedang mendengarkannya, ataukah anda hanya berpura-pura supaya pasangan anda merasa ia sedang didengarkan? 4 = Selalu 3 = Sering 2 = Kadang-kadang 1 = Jarang 0 = Tidak pernah 4 3 2 1 0 17 Ketika sedang mendengarkan pasangan anda, apakah anda selalu menilai terlebih dahulu, atau anda benar-benar menyimak dengan pikiran terbuka akan pesan yang dikatakan? 4 = Selalu 3 = Sering 2 = Kadang-kadang 1 = Jarang 0 = Tidak pernah 4 3 2 1 0 18 Mendengarkan tanpa menilai membantu di dalam meresponi pesan yang sedang disampaikan pasangan. Ini menunjukkan bahwa anda menghormati dan menghargai pesan yang sedang disampaikan pasangan suami/istri anda. Menurut pemahaman anda : 4 = Sangat setuju 3 = Setuju 2 = Tidak yakin 1 = Kurang setuju 0 = Tidak setuju 4 3 2 1 0 19 Apakah pasangan anda setuju dengan penilaian yang anda berikan, atau pasangan anda tidak peduli dan tidak setuju dengan penilaian anda, karena pasangan anda hanya ingin didengarkan saat itu? Menurut penilaian anda : 4 = Sangat setuju 3 = Setuju 2 = Tidak yakin 1 = Kurang setuju 0 = Tidak setuju 4 3 2 1 0 20 Mendengarkan tanpa menilai membantu untuk memahami dan mengerti tujuan dari pesan yang disampaikan suami/istri. Mendengarkan tanpa menilai membuat pasangan merasa dihargai dan dihormati. Menurut pemahaman anda : 4 = Sangat setuju 3 = Setuju 2 = Tidak yakin 1 = Kurang setuju 0 = Tidak setuju 4 3 2 1 0 E. Mendengarkan secara Kritis 21 Mendengarkan secara kritis berarti anda benar-benar memusatkan perhatian kepada pesan yang sedang disampaikan pasangan anda, sehingga anda mampu mengevaluasi pesan tersebut dengan baik Menurut pemahaman anda : 4 = Sangat setuju 3 = Setuju 2 = Tidak yakin 1 = Kurang setuju 0 = Tidak setuju 4 3 2 1 0 22 Mendengarkan secara kritis membantu anda untuk menganalisis permasalahan yang sedang disampaikan pasangan anda, sehingga anda dapat memberikan masukan atau umpan balik yang dibutuhkan oleh pasangan anda Apakah anda selalu memberikan masukan yang baik dan sesuai dengan yang dibutuhkan pasangan anda, atau justru menambah masalah yang ada? 4 = Selalu 3 = Sering 2 = Kadang-kadang 1 = Jarang 0 = Tidak pernah 4 3 2 1 0 23 Apakah anda memberikan solusi atas sebuah masalah dengan kata-kata yang kasar atau yang dapat menyerang pribadi pasangan suami/istri? 4 = Selalu 3 = Sering 2 = Kadang-kadang 1 = Jarang 0 = Tidak pernah 4 3 2 1 0 24 Tidak lari dari pokok pembicaraan dan tidak mengikut sertakan masalah-masalah yang tidak penting, memampukan anda untuk mengevaluasi dengan baik masalah yang ada 4 = Sangat setuju 3 = Setuju 2 = Tidak yakin 1 = Kurang setuju 0 = Tidak setuju 4 3 2 1 0 25 Apakah anda yang selalu menyediakan jalan pemecahan atas setiap masalah yang ada, ataukah jalan pemecahan tersebut ditempuh melalui keputusan bersama suami-istri? 4 = Selalu 3 = Sering 2 = Kadang-kadang 1 = Jarang 0 = Tidak pernah 4 3 2 1 0 II : Mendengarkan Sebagai Konseling F. Pasangan Sebagai Konselor 26 Mendorong pasangan untuk turut berpartisipasi dalam pembicaraan, membuat pasangan merasa dihargai dan dipedulikan, merupakan suatu keharusan dalam berkomunikasi Apakah anda selalu mengajak pasangan anda untuk berpartisipasi di dalam sebuah pembicaraan? 4 = Selalu 3 = Sering 2 = Kadang-kadang 1 = Jarang 0 = Tidak pernah 4 3 2 1 0 27 Menolong pasangan anda, untuk dapat saling memaafkan, menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing dan dapat merasakan keadaan pasangan, merupakan tugas yang harus dilakukan Bagaimana menurut pemahaman anda? 4 = Sangat setuju 3 = Setuju 2 = Tidak yakin 1 = Kurang setuju 0 = Tidak setuju 4 3 2 1 0 28 Mendorong pasangan untuk dapat mengutarakan perasaannya tanpa rasa takut untuk dinilai terlebih dahulu, dan dapat mengekspresikan kasih melalui tindakan komunikasi yang baik, membuat pasangan merasa dihargai dan dihormati Apakah anda selalu melakukannya kepada pasangan anda? 4 = Selalu 3 = Sering 2 = Kadang-kadang 1 = Jarang 0 = Tidak pernah 4 3 2 1 0 29 Membantu pasangan untuk lebih terbuka dan objektif, memampukannya untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri, tidak menuntut, tetapi berusaha untuk memahami pasangan suami/istrinya Menurut pemahaman anda : 4 = Sangat setuju 3 = Setuju 2 = Tidak yakin 1 = Kurang setuju 0 = Tidak setuju 4 3 2 1 0 30 Dengan mendorong pasangan untuk mampu mendengarkan secara kritis, akan memampukan untuk mengevaluasi pesan dan menganalisis pemahaman-pemahaman yang ada dalam suatu pembicaraan Apakah anda selalu mendorong pasangan untuk belajar mendengarkan secara kritis? 4 = Selalu 3 = Sering 2 = Kadang-kadang 1 = Jarang 0 = Tidak pernah 4 3 2 1 0 G. Pasangan Sebagai Konseli 31 Ketika anda berpartisipasi dalam suatu pembicaraan, apakah anda hanya dijadikan sebagai tempat untuk mendengarkan keluh kesah, tanpa sedikit pun anda sendiri diberikan waktu untuk berbicara? 4 = Selalu 3 = Sering 2 = Kadang-kadang 1 = Jarang 0 = Tidak pernah 4 3 2 1 0 32 Apakah anda merasa yakin bahwa pasangan anda turut berempati dengan apa yang anda rasakan, ataukah pasangan anda hanya berpura-pura untuk menyenangkan hati anda? Menurut pendapat anda : 4 = Sangat yakin 3 = Yakin 2 = Ragu-ragu 1 = Kurang yakin 0 = Tidak yakin 4 3 2 1 0 33 Apakah pasangan anda cukup objektif dalam suatu pembicaraan (baik pembicaraan akan suatu masalah maupun keseharian), sehingga dapat membuat anda yakin dengan masukan-masukan yang diberikan? 4 = Sangat yakin 3 = Yakin 2 = Ragu-ragu 1 = Kurang yakin 0 = Tidak yakin 4 3 2 1 0 34 Ketika anda sedang menyampaikan sesuatu, pasangan anda dengan segera memberikan penilaian atas suatu hal yang anda sampaikan. Bagaimana tanggapan anda akan hal tersebut? 4 = Sangat setuju 3 = Setuju 2 = Tidak yakin 1 = Kurang setuju 0 = Tidak setuju 4 3 2 1 0 35 Mendengarkan secara kritis membantu dalam menganalisis pemahaman dan mengevaluasi pesan yang diberikan. Apakah pasangan anda cukup kritis di dalam memberikan analisis dan evaluasi atas pesan yang anda sampaikan? 4 = Selalu 3 = Sering 2 = Kadang-kadang 1 = Jarang 0 = Tidak pernah 4 3 2 1 0 Saran dan kritik ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………. Tabel 4.8 Mendengarkan Pasangan Sebagai Suatu Bentuk Konseling Kristen dalam Kehidupan Keluarga Kristen : No. Pertanyaan Pria 0 1 2 3 4 Mendengarkan secara partisipatif 1 2 4 3 8 11 2 3 3 3 9 10 3 2 2 8 11 5 4 2 2 8 11 5 5 4 1 6 12 5 Mendengarkan secara Empati 6 4 1 6 13 4 7 2 3 5 13 5 8 2 3 4 14 5 9 3 3 4 11 7 10 5 6 5 6 6 Mendengarkan secara Objektif 11 1 1 11 8 7 12 2 1 10 10 5 13 6 3 4 11 4 14 6 3 4 11 4 15 6 5 5 8 4 Mendengarkan tanpa Menilai 16 5 6 5 6 6 17 3 1 4 11 9 18 3 1 3 14 7 19 2 2 7 9 8 20 2 1 8 8 9 Mendengarkan secara Kritis 21 1 6 5 12 4 22 1 7 7 9 4 23 2 6 6 9 5 24 2 2 7 12 5 25 2 2 9 8 7 Pasangan sebagai Konselor 26 7 2 6 9 4 27 7 2 7 6 6 28 3 7 2 10 6 29 3 7 2 9 7 30 4 3 8 10 3 Pasangan sebagai Konseli 31 4 2 9 9 4 32 3 2 9 7 7 33 3 3 8 6 8 34 2 2 10 5 9 35 3 2 5 7 11 Total = 112 107 213 332 216 Tabel 4.9 Mendengarkan Pasangan Sebagai Suatu Bentuk Konseling Kristen dalam Kehidupan Keluarga Kristen : No. Pertanyaan Wanita 0 1 2 3 4 Mendengarkan secara Partisipatif 1 - 3 4 15 6 2 - 2 5 14 7 3 - 2 6 14 6 4 - - 5 11 12 5 - 4 4 15 5 Mendengarkan secara Empati 6 - 4 3 13 8 7 - - 2 13 13 8 - 1 3 14 10 9 2 8 3 11 4 10 5 4 6 11 2 Mendengarkan secara Objektif 11 - - 4 15 9 12 - 3 9 12 4 13 1 5 7 11 4 14 - - 10 11 7 15 3 3 3 15 4 Mendengarkan tanpa Menilai 16 5 4 5 9 5 17 1 3 8 13 3 18 1 3 11 9 4 19 - 6 6 12 4 20 4 3 7 10 4 Mendengarkan secara Kritis 21 - 3 7 12 6 22 - 4 9 13 2 23 2 5 5 13 3 24 1 2 10 12 3 25 - 5 8 11 4 Pasangan sebagai Konselor 26 3 6 2 8 9 27 1 1 - 16 10 28 - 7 5 13 3 29 - - 9 12 7 30 2 6 6 8 6 Pasangan sebagai Konseli 31 5 5 6 8 4 32 - 3 1 15 9 33 1 - 3 14 10 34 3 7 5 8 5 35 1 2 6 13 6 Total = 41 114 193 424 208

Sabtu, 22 Agustus 2009

From A Woman who need’s someone cares

joy_bire.blogspot.com

Facebook Badge

nocastalender

Telkomsel Gasibu Bandung

joy-Soemba

Tazmania

<$BlogTitle$>

<$BlogDateHeaderDate$>

<$BlogItemTitle$>

<$BlogItemCommentCount$> Comments:

Links to this post:

Previous Posts

Archives

My links

Sponsored Links

Dear God

Arsip Blog

Mengenai Saya

Mendengarkan Pasangan