TRAGEDI TANJUNG PRIOK 1984
Tragedi Tanjung Priok,
Jakarta, 1984
Dari berbagai sumber
Senin, 10 September 1984. Seorang oknum ABRI beragama Katholik,
Sersan Satu Hermanu, mendatangi mushala As-Sa'adah untuk menyita pamflet berbau
'SARA'. Namun tindakan Sersan Hermanu sangat menyinggung perasaan ummat Islam.
Ia masuk ke dalam masjid tanpa melepas sepatu, menyiram dinding mushala dengan
air got, bahkan menginjak Al-Qur'an. Warga marah dan motor motor Hermanu
dibakar. Buntutnya, empat orang pengurus mushala diciduk Kodim. Upaya persuasif
yang dilakukan ulama tidak mendapat respon dari aparat. Malah mereka
memprovokasi dengan mempertontonkan salah seorang ikhwan yang ditahan itu,
dengan tubuh penuh luka akibat siksaan.
Rabu. 12 September 1984. Mubaligh Abdul Qodir Djaelani membuat
pernyataan yang menentang azas tunggal Pancasila. Malamnya, di Jalan Sindang,
Tanjung Priok, diadakan tabligh. Ribuan orang berkumpul dengan semangat
membara, disemangati khotbah dari Amir Biki, Syarifin Maloko, Yayan Hendrayana,
dll. Tuntutan agar aparat melepas empat orang yang ditahan terdengar semakin
keras. Amir Biki dalam khotbahnya berkata dengan suara bergetar, "Saya
beritahu Kodim, bebaskan keempat orang yang ditahan itu sebelum jam sebelas
malam. Jika tidak, saya takut akan terjadi banjir darah di Priok ini".
Mubaligh lain, Ustdaz Yayan, bertanya pada jamaah, "Man anshori ilallah?
Siapa sanggup menolong agama Allah ?" Dijawab oleh massa, "Nahnu
Anshorullah ! Kami siap menolong agama Allah !" Sampai jam sebelas malam
tidak ada jawaban dari Kodim, malah tank dan pasukan didatangkan ke kawasan
Priok. Akhirnya, lepas jam sebelas malam, massa mulai bergerak menuju markas
Kodim. Ada yang membawa senjata tajam dan bahan bakar. Tetapi sebagian besar
hanyalah berbekal asma' Allah dan Al-Qur'an. Amir Biki berpesan, "Yang
merusak bukan teman kita !"
Di Jalan Yos Sudarso massa dan tentara berhadapan. Tidak
terlihat polisi satupun, padahal seharusnya mereka yang terlebih dahulu
menangani (dikemudian hari diketahui, para polisi ternyata dilarang keluar dari
markasnya oleh tentara). Massa sama sekali tidak beringas. Sebagian besar malah
hanya duduk di jalan dan bertakbir. Tiba-tiba terdengar aba-aba mundur dari
komandan tentara. Mereka mundur dua langkah, lalu ... astaghfirullah ! Tanpa
peringatan terlebih dahulu, tentara mulai menembaki jamaah dan bergerak maju.
Gelegar senapan terdengar bersahut-sahutan memecah kesunyian malam. Aliran
listrik yang sudah dipadamkan sebelumnya membuat kilatan api dari
moncong-moncong senjata terlihat mengerikan. Satu demi satu para syuhada
tersungkur dengan darah membasahi bumi. Kemudian, datang konvoi truk militer
dari arah pelabuhan, menerjang dan melindas massa yang tiarap di jalan. Dari
atas truk, orang-orang berseragam hijau tanpa nurani gencar menembaki. Tentara
bahkan masuk ke perkampungan dan menembak dengan membabi-buta. Tanjung Priok
banjir darah.
Pemerintah dalam laporan resminya yang diwakili Panglima ABRI,
Jenderal L. B. Moerdani, menyebutkan bahwa korban tewas 'hanya' 18 orang dan
luka-luka 53 orang. Namun dari hasil investigasi tim pencari fakta, SONTAK
(SOlidaritas Nasional untuk peristiwa TAnjung prioK), diperkirakan sekitar 400
orang tewas, belum terhirung yang luka-luka dan cacat. Sampai dua tahun setelah
peristiwa pembantaian itu, suasana Tanjung Priok begitu mencekam. Siapapun yang
menanyakan peristiwa 12 September, menanyakan anak atau kerabatnya yang hilang,
akan berurusan dengan aparat.
Sebenarnya sejak beberapa bulan sebelum tragedi, suasana Tanjung
Priok memang terasa panas. Tokoh-tokoh Islam menduga keras bahwa suasana panas
itu memang sengaja direkayasa oleh oknum-oknum tertentu dipemerintahan yang
memusuhi Islam. Terlebih lagi bila melihat yang menjadi Panglima ABRI saat itu,
Jenderal Leonardus Benny Moerdani, adalah seorang Katholik yang sudah dikenal
permusuhannya terhadap Islam. Suasana rekayasa ini terutama sekali dirasakan
oleh ulama-ulama di luar tanjung Priok. Sebab, di kawasan lain kota Jakarta
sensor bagi para mubaligh sangat ketat. Namun entah kenapa, di Tanjung Priok
yang merupakan basis Islam itu para mubaligh dapat bebas berbicara bahkan
mengkritik pemerintah, sampai menolak azas tunggal Pancasila. Adanya rekayasa
dan provokasi untuk memancing ummat Islam dapat diketahui dari beberapa
peristiwa lain sebelum itu, misalnya dari pembangunan bioskop Tugu yang banyak
memutar film maksiat diseberang Masjid Al-Hidayah. Tokoh senior seperti M.
Natsir dan Syafrudin Prawiranegara sebenarnya telah melarang ulama untuk datang
ke Tanjung Priok agar tidak masuk ke dalam perangkap. Namun seruan ini rupanya
tidak sampai kepada para mubaligh Priok. Dari cerita Syarifin Maloko, ketua
SONTAK dan mubaligh yang terlibat langsung peristiwa 12 September, ia baru
mendengar adanya larangan tersebut setelah berada di dalam penjara. Rekayasa
dan pancingan ini tujuannya tak lain untuk memojokkan Islam dan ummatnya di
Indonesia.
Diringkas dan diedit ulang dari Majalah Sabili
dan Tabloid Hikmah
Peristiwa Tanjung Priok Sudah Bisa Diduga
Jakarta, Kompas - Peristiwa Tanjung Priok, 12 September 1984,
yang mengakibatkan jatuhnya korban, sudah diduga warga bakal terjadi.
Indikasinya, sejak sore sebelum peristiwa itu terjadi, tiga panser terlihat
keluar dari Markas Komando Batalyon Artileri Pertahanan Udara Sedang-06
(Arhanudse-06).
Adanya panser itu disampaikan Dewi Wardah (istri almarhum Amir
Biki), dalam persidangan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat Tanjung
Priok, dengan terdakwa mantan Kasi-2 Ops Kodim 0502 Jakarta Utara, Mayjen
Sriyanto, Kamis (8/1) di Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta.
Selain Dewi Wardah, sidang yang dipimpin Herman Hueler Hutapea
juga memeriksa saksi Budi Santoso dan Sudarso bin Rais.
Dalam kesaksiannya, Dewi Wardah menyatakan bahwa peristiwa
bentrokan warga dengan Yon Arhanudse-06, yang berakhir dengan penembakan
sejumlah warga terjadi sekitar pukul 23.00. Namun, sore hari sebelum kejadian,
sekitar pukul 17.00, Dewi mengaku melihat tiga panser keluar dari Markas
Komando Yon Arhanudse-06.
Hanya laki-laki
Karena khawatir akan terjadi sesuatu, maka malam itu ibu-ibu dan
perempuan diminta tidak ikut pengajian yang digelar di Jalan Sindang, Kelurahan
Koja Selatan, Jakarta Utara. "Malam itu yang datang hanya laki-laki,"
tutur Dewi.
Meskipun tidak ikut pengajian, Dewi mengaku bahwa malam itu
memang ada rencana dari warga Tanjung Priok untuk membebaskan empat warga yang
ditahan aparat.
Ketika itu, suaminya, Amir Biki, marah karena tidak mendapat
jawaban dari aparat di mana sebenarnya keempat orang itu ditahan. Belakangan
baru diketahui ditahan di Kodim.
Ia mengakui suaminya memang menolak asas tunggal Pancasila, dan
menentang kebijakan pemerintah soal Keluarga Berencana dan larangan memakai
jilbab di sekolah.
Ketika peristiwa Tanjung Priok terjadi, menurut Dewi, malam itu
lampu di daerahnya padam, dan terdengar tembakan beruntun. Sekitar pukul 02.00
dini hari ia diberi tahu bahwa suaminya meninggal karena tertembak, dan diminta
supaya mengambil jenazahnya di RSPAD. Namun, karena ia mempunyai anak kecil,
maka hanya orangtua dan saudara Amir Biki yang mengambil jenazah suaminya.
Sebelum dimakamkan, jenazah Amir Biki disemayamkan di Masjid Al
Arab. Selama dua jam keluarga diizinkan melihat wajah jenazah, karena seluruh
tubuhnya sudah dibalut kain.
Seusai pemakaman Amir Biki, ia melihat beberapa pelayat
ditangkap aparat. Sepanjang yang diketahuinya, terdapat 23 orang korban,
ditambah delapan warga keturunan Tioghoa.
Ke-23 korban baru diketahui setelah penggalian kuburan di Condet
(7), Kramat Ganjeng (8), dan Mengkok (8). Selain korban meninggal, ada juga 36
orang korban luka.(SON)
Kronologi Peristiwa Tanjung
Priok
Versi Abdul Qadir Djaelani
Versi Abdul Qadir Djaelani
Abdul Qadir Djaelani adalah salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan sebagai salah seorang dalang peristiwa Tanjung Priok. Karenanya, ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanjung Priok, sedikit banyak ia mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok. Berikut adalah petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi pembelaannya berjudul “Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia”.
Sabtu, 8 September 1984
Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu,
memasuki Mushala as-Sa'adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got
(comberan). Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam
(masjid) di Jalan Sindang.
Ahad, 9 September 1984
Ahad, 9 September 1984
Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa'adah menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan penyelesaan kepada jamaah kaum muslimin.
Senin, 10 September 1984
Beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa'adah berpapasan dengan
salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah
pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid
Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Usul mereka supaya semua pihak minta
penengahan ketua RW, diterima.
Sementara usaha penegahan sedang.berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa'adah.
Selasa, 11 September 1984
Sementara usaha penegahan sedang.berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa'adah.
Selasa, 11 September 1984
Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.
Rabu, 12 September 1984
Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja
Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa
Mushala as-Sa'adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir
Biki, yang memang bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik mimbar. Akan
tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya,
jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada
kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain, "Mari kita buktikan
solidaritas islamiyah. Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka
tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung
jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau
mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya." Selanjutnya, Amir
Biki berkata, "Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau adayang merusak di
tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan
dan jamaah kita)." Pada waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua:
sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.
Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan. Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, "Mundur-mundur!" Teriakan "mundur-mundur" itu disambut oleh jamaah dengan pekik, "Allahu Akbar! Allahu Akbar!" Saat itu militer mundur dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada. Malahan ada anggota militer yang berteriak, "Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!" Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.
Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir jalan. Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut. Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengarjelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan.
Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan melemparkannya ke dalam truk, bagaikan melempar karung goni saja. Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun bagaikan karung goni.
Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya and di sisinya, sampai bersih.
Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kirajarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid. Menurut ingatan saudara Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD).
Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar mayat, saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.
Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak boleh terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar kepada media massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini dan seawal mungkin. Ini karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu saya diperiksa oleh Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat berbincang-bincang dengan Kolonel Polisi Ritonga, Kepala Intel Kepolisian tersebut di mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian di Tanjung Priok menuntut pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan, disebabkan membakar motor petugas. Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya ditangkap tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12 September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang ke kantor Satgas Intel Jaya.
Sumber: Buku Tanjung Priok Berdarah, Tanggungjawab Siapa: Kumpulan Fakta dan Data, Yogyakarta: Gema Insani Press.
Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan. Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, "Mundur-mundur!" Teriakan "mundur-mundur" itu disambut oleh jamaah dengan pekik, "Allahu Akbar! Allahu Akbar!" Saat itu militer mundur dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada. Malahan ada anggota militer yang berteriak, "Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!" Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.
Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir jalan. Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut. Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengarjelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan.
Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan melemparkannya ke dalam truk, bagaikan melempar karung goni saja. Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun bagaikan karung goni.
Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya and di sisinya, sampai bersih.
Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kirajarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid. Menurut ingatan saudara Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD).
Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar mayat, saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.
Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak boleh terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar kepada media massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini dan seawal mungkin. Ini karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu saya diperiksa oleh Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat berbincang-bincang dengan Kolonel Polisi Ritonga, Kepala Intel Kepolisian tersebut di mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian di Tanjung Priok menuntut pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan, disebabkan membakar motor petugas. Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya ditangkap tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12 September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang ke kantor Satgas Intel Jaya.
Sumber: Buku Tanjung Priok Berdarah, Tanggungjawab Siapa: Kumpulan Fakta dan Data, Yogyakarta: Gema Insani Press.